Entri Populer

Selasa, 12 Juli 2011

PARADIGMA STATUS HUKUM KEWARGANEGARAAN HASIL PERKAWINAN CAMPURAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN KEWARGANEGARAAN GANDA BAGI ANAK SEBAGAI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN

PARADIGMA STATUS HUKUM KEWARGANEGARAAN HASIL PERKAWINAN CAMPURAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN KEWARGANEGARAAN GANDA BAGI ANAK SEBAGAI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN


Oleh :
Tri Eka Hermawati
E 0007229

FAKULTAAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi seperti sekarang ini, jarak fisik bukan lagi menjadi halangan untuk berinteraksi, bahkan hingga melewati batas-batas negara. Hal ini tergambar jelas antara lain dengan semakin meningkatnya kecenderungan perkawinan antar bangsa (perkawinan campuran) yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.
. Banyak negara yang menyikapi hal ini dengan positif dan mengaplikasikannya ke dalam undang-undang/hukum yang akomodatif terhadap gejala ini, walaupun ada pula yang pasif, namun bisa dibilang hanya sedikit negara yang mengabaikan gejala ini. Bahkan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah mengantisipasi adanya kemungkinan perkawinan campuran antar bangsa ini.
Selanjutnya, berkaitan dengan perkawinan campuran yang marak terjadi pada era sekarang ini, kita bisa melihat pada regulasi yang lain yaitu pada beberapa pasal dalam deklarasi PBB tentang hak asasi manusia yang telah diadopsi juga oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang niscaya sangat membantu bagi kondisi perkawinan antar bangsa, bila saja pasal tersebut dapat direalisasikan secara nyata, yaitu sebagai berikut :
• Pasal 1, setiap orang dilahirkan sebagai manusia bebas dan mempunyai hak dan harga diri yang setara.
• Pasal 16, laki-laki dan perempuan dewasa tanpa batasan ras, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka berhak untuk memperoleh persamaan hak seperti saat menikah, selama pernikahan atau bila perkawinan terputus. Perkawinan bisa terjadi hanya bila dilakukan oleh sepasang manusia yang sadar dan bebas. Keluarga adalah kelompok alamiah dan fundamental di tatanan sosial dan berhak atas perlindungan dari lingkungan sosialnya dan negara.
• Pasal 23, setiap orang berhak untuk bekerja, untuk bebas menentukan pekerjaan dan seterusnya. Setiap orang tanpa diskriminasi berhak memperoleh upah yang sama untuk hasil kerja yang sama.
Di dalam era globalisasi ini di mana persaingan sumber daya manusia semakin meruncing dengan diberlakukannya (walaupun secara bertahap) penghapusan batas-batas negara untuk bekerja (misalnya AFTA), Indonesia justru membiarkan “sumber daya manusianya” yang bermutu hengkang ke negara lain hanya karena mereka “setengah” Indonesia dan diperlakukan sebagai layaknya warga negara asing. Padahal, sebagian besar dari mereka dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia dengan budaya Indonesia yang mengalir deras dan sudah menganggap Indonesia sebagai kampung halaman.

Perkawinan campuran membawa berbagai konsekuensi bagi pelakunya, termasuk konsekuensi berkaitan dengan status hukum kewarganegaraan baik bagi status kewarganegaraan mereka yang melakukan perkawinan campuran tersebut, maupun status hukum kewarganegaraan anak yang di hasilkan dari perkawinan campuran tersebut. Hal yang sering terjadi adalah seorang anak yang dilahirkan dari hasil perkawinann campuran dia akan mempunyai kewarganegaraan ganda dan kadang kala status kewarganegaraan ganda tersebut menimbulkan permasalahn pada beberapa hal, Sebagai contoh bila seorang gadis Jerman menikah dengan lelaki Bali, misalnya, lalu anak mereka lahir di Jerman, maka sangat mungkin anak mereka itu mendapatkan dua kewarganegaraan (Jerman, karena lahir di Jerman, dan Indonesia, karena ayahnya seorang warganegara Indonesia). Anak itu disebut memiliki kewarganegaraan ganda. Hal inilah yang dimungkinkan melalui pengaturan Undang-Undang Kewarganegaraan yang sekarang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyatakan, ”Anak WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli akan mendapatkan status kewarganegaraan ganda. Untuk kepastian bahwa ia mempertahankan kewarganegaraan Republik Indonesia maka orangtua anak tersebut harus menyatakan bahwa anak tersebut tetap berstatus Warga Negara Indonesia (WNI).”
Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah bahwa tidak mudah untuk memperoleh status kewarganegaraan ganda bagi anak yang dilahirka sebagai hasil perkawinan campuran. Status hukum tersebut harus diperjuangkan melalui suatu prosedur atau tatacara tertentu yang sudah diatur seecara khusus mengenai tatacara memperoleh status hukum atau status kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dan mencermati hal-hal yang mungkin timbul dari segala permasalahan diatas, maka penulis hendak mengkaji lebih lanjut berkaitan dengan bagaimana status hukum kewarganegaraan dan juga bagaimana berkaitan dengan tatacara pendaftaran status kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran, melalui penyusunan makalah dengan judul : PARADIGMA STATUS HUKUM KEWARGANEGARAAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN KEWARGANEGARAAN GANDA BAGI ANAK SEBAGAI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan masalah untuk mempermudah pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana status hukum kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran?
2. Bagaimana tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Status Hukum Kewarganegaraan Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu Undang-Undang ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodasi kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya (http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/76-status-hukum-kewarganegaraan-hasil-perkawinan-campuran.html, diakses Pukul 10.52, Tanggal 8 Desember 2010 di Surakarta).
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 Kewarganegaraan (http://panmohamadfaiz.com/2007/04/24/kewarganegaraan-ganda-untuk-anak/ di akses Pukul 11.12 Tanggal 8 Desember 2010 di Surakarta).
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas (kewarganegaraan ganda terbatas) ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-Undang kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Definisi anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan dan dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah. Asas Ius Soli; Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Asas Ius Sanguinis; Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.
Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Appatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).
Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya; memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu, dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, bertempat tinggal diluar wilayah negara republic Indonesia selama 5 (liama0 tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas negara, tanpa alas an yang sah dan dengan sngaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonedia sebelum jangka waktu 5(liama) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernytaaan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena Undang-Undang baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.
B. Tata Cara Pendaftaran Kewarganegaraan Ganda Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang Kewarganegaraan baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah menyebutkan dalam Pasal 4 bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara seorang ayah Warganegara Asing (WNA) dan seorang ibu Warganegara Indonesia (WNI) termasuk sebagai Warga Negara Indonesia. Bagi anak-anak yang lahir sebelum UU ini disahkan, seperti halnya dalam kasus anak-anak Ibu, maka berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 anak-anak tersebut (dengan syarat belum berusia 18 tahun dan belum kawin) dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan cara mendaftarkan diri pada Menteri melalui pejabat atau perwakilan republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 diundangkan.
Tata cara pendaftaran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 Dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (http://www.docstoc.com/docs/20488429/tatacara-memperoleh-kewarganegaraan-ganda-bagi-anak- diakses Pukul 10.58 Tanggal 8 Desember 2010 di Surakarta).
Pendaftaran untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak yang berayahkan WNA dan beribukan WNI dilakukan oleh salah seorang dari orang tua atau walinya dengan mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup. Permohonan pendaftaran tersebut bagi anak yang bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Permohonan pendaftaran bagi anak yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Dalam hal di negara tempat tinggal anak belum terdapat Perwakilan Republik Indonesia, maka permohonan pendaftaran dilakukan melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia terdekat.
Dengan demikian, jika anak-anak Ibu bertempat tinggal di Malaysia, maka dapat mengajukan permohonannya melalui KBRI di Kuala Lumpur atau Konsulat Jenderal RI yang terdekat dengan kediaman anak. Begitu pun halnya jika bertempat tinggal di Jerman, dapat menghubungi KBRI atau KonJen RI yang terkait. Permohonan pendaftaran sekurang-kurangnya memuat:
1. nama lengkap, alamat tempat tinggal salah seorang dari orang tua atau wali anak;
2. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta kewarganegaraan kedua orang tua;
3. nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan anak serta hubungan hukum kekeluargaan anak dengan orang tua; dan
4. kewarganegaraan anak.
Permohonan pendaftaran harus dilampiri dengan:
1. fotokopi kutipan Akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
3. fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia; dan
4. pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4X6 cm sebanyak 6 (enam) lembar.
Selain lampiran sebagaimana dimaksud bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah harus melampirkan fotokopi kutipan Akte perkawinan/buku nikah. Apabila orang tua bercerai atau salah satu diantaranya telah meninggal dunia, maka dengan melampirkan kutipan Akte perceraian/surat talak/perceraian atau keterangan/kutipan Akte kematian salah seorang dari orang tua anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia. Permohonan pendaftaran menggunakan bentuk formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut.
Dalam hal permohonan pendaftaran telah dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan keputusan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan pendaftaran diterima dari Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia. Keputusan tersebut dibuat dalam rangkap 3 (tiga), dengan ketentuan:
1. rangkap pertama diberikan kepada orang tua atau wali anak melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. rangkap kedua dikirimkan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia sebagai arsip; dan
3. rangkap ketiga disimpan sebagai arsip Menteri.
Keputusan Menteri tersebut disampaikan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan. Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia menyampaikan Keputusan Menteri tersebut kepada orang tua atau wali anak yang memohon pendaftaran paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Keputusan Menteri diterima. Permohonan pendaftaran anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diproses apabila telah diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat pada tanggal 1 Agustus 2010. Dalam hal permohonan pendaftaran anak diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia melalui pos hanya dapat diproses apabila stempel pos pengiriman tertanggal paling lambat tanggal 1 Agustus 2010.
Dengan demikian anak-anak Ibu akan memiliki kewarganegaraan ganda, dan di usia 18 tahun nanti atau sebelumnya apabila menikah sebelum 18 tahun, anak-anak Ibu harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan yang ada pada bab II diaatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan status hukum kewarganegaraan hasil perkawinan campuran dan juga tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran, yaitu :
1. Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena Undang-Undang baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
2. Tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil prkawinan campuran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.

B. Saran
Pada era sekarang ini perkawinan campuran sudah bukan menjadi hal yang aneh, karena sudah merambah ke seluruh pelosok negeri dan membawa konsekuensi pada berbagai hal. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah diharap dapat menerapkan Undang-Undang kewarganegaraan dengan baik demi mengurangi konsekuensi yang dapat ditimbulkan dari adanya perkawinan campuran terutama berkaitan dengan status hukum dan tatacara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan caampuran.




PARADIGMA STATUS HUKUM KEWARGANEGARAAN HASIL PERKAWINAN CAMPURAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN KEWARGANEGARAAN GANDA BAGI ANAK SEBAGAI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN

PARADIGMA STATUS HUKUM KEWARGANEGARAAN HASIL PERKAWINAN CAMPURAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN KEWARGANEGARAAN GANDA BAGI ANAK SEBAGAI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN


Oleh :
Tri Eka Hermawati
E 0007229

FAKULTAAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi seperti sekarang ini, jarak fisik bukan lagi menjadi halangan untuk berinteraksi, bahkan hingga melewati batas-batas negara. Hal ini tergambar jelas antara lain dengan semakin meningkatnya kecenderungan perkawinan antar bangsa (perkawinan campuran) yang terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.
. Banyak negara yang menyikapi hal ini dengan positif dan mengaplikasikannya ke dalam undang-undang/hukum yang akomodatif terhadap gejala ini, walaupun ada pula yang pasif, namun bisa dibilang hanya sedikit negara yang mengabaikan gejala ini. Bahkan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah mengantisipasi adanya kemungkinan perkawinan campuran antar bangsa ini.
Selanjutnya, berkaitan dengan perkawinan campuran yang marak terjadi pada era sekarang ini, kita bisa melihat pada regulasi yang lain yaitu pada beberapa pasal dalam deklarasi PBB tentang hak asasi manusia yang telah diadopsi juga oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang niscaya sangat membantu bagi kondisi perkawinan antar bangsa, bila saja pasal tersebut dapat direalisasikan secara nyata, yaitu sebagai berikut :
• Pasal 1, setiap orang dilahirkan sebagai manusia bebas dan mempunyai hak dan harga diri yang setara.
• Pasal 16, laki-laki dan perempuan dewasa tanpa batasan ras, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan membentuk keluarga. Mereka berhak untuk memperoleh persamaan hak seperti saat menikah, selama pernikahan atau bila perkawinan terputus. Perkawinan bisa terjadi hanya bila dilakukan oleh sepasang manusia yang sadar dan bebas. Keluarga adalah kelompok alamiah dan fundamental di tatanan sosial dan berhak atas perlindungan dari lingkungan sosialnya dan negara.
• Pasal 23, setiap orang berhak untuk bekerja, untuk bebas menentukan pekerjaan dan seterusnya. Setiap orang tanpa diskriminasi berhak memperoleh upah yang sama untuk hasil kerja yang sama.
Di dalam era globalisasi ini di mana persaingan sumber daya manusia semakin meruncing dengan diberlakukannya (walaupun secara bertahap) penghapusan batas-batas negara untuk bekerja (misalnya AFTA), Indonesia justru membiarkan “sumber daya manusianya” yang bermutu hengkang ke negara lain hanya karena mereka “setengah” Indonesia dan diperlakukan sebagai layaknya warga negara asing. Padahal, sebagian besar dari mereka dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia dengan budaya Indonesia yang mengalir deras dan sudah menganggap Indonesia sebagai kampung halaman.

Perkawinan campuran membawa berbagai konsekuensi bagi pelakunya, termasuk konsekuensi berkaitan dengan status hukum kewarganegaraan baik bagi status kewarganegaraan mereka yang melakukan perkawinan campuran tersebut, maupun status hukum kewarganegaraan anak yang di hasilkan dari perkawinan campuran tersebut. Hal yang sering terjadi adalah seorang anak yang dilahirkan dari hasil perkawinann campuran dia akan mempunyai kewarganegaraan ganda dan kadang kala status kewarganegaraan ganda tersebut menimbulkan permasalahn pada beberapa hal, Sebagai contoh bila seorang gadis Jerman menikah dengan lelaki Bali, misalnya, lalu anak mereka lahir di Jerman, maka sangat mungkin anak mereka itu mendapatkan dua kewarganegaraan (Jerman, karena lahir di Jerman, dan Indonesia, karena ayahnya seorang warganegara Indonesia). Anak itu disebut memiliki kewarganegaraan ganda. Hal inilah yang dimungkinkan melalui pengaturan Undang-Undang Kewarganegaraan yang sekarang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tersebut menyatakan, ”Anak WNI yang lahir di negara yang menganut asas ius soli akan mendapatkan status kewarganegaraan ganda. Untuk kepastian bahwa ia mempertahankan kewarganegaraan Republik Indonesia maka orangtua anak tersebut harus menyatakan bahwa anak tersebut tetap berstatus Warga Negara Indonesia (WNI).”
Permasalahan yang timbul selanjutnya adalah bahwa tidak mudah untuk memperoleh status kewarganegaraan ganda bagi anak yang dilahirka sebagai hasil perkawinan campuran. Status hukum tersebut harus diperjuangkan melalui suatu prosedur atau tatacara tertentu yang sudah diatur seecara khusus mengenai tatacara memperoleh status hukum atau status kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas dan mencermati hal-hal yang mungkin timbul dari segala permasalahan diatas, maka penulis hendak mengkaji lebih lanjut berkaitan dengan bagaimana status hukum kewarganegaraan dan juga bagaimana berkaitan dengan tatacara pendaftaran status kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran, melalui penyusunan makalah dengan judul : PARADIGMA STATUS HUKUM KEWARGANEGARAAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN KEWARGANEGARAAN GANDA BAGI ANAK SEBAGAI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan masalah untuk mempermudah pembahasan. Adapun permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana status hukum kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran?
2. Bagaimana tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Status Hukum Kewarganegaraan Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu Undang-Undang ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodasi kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya (http://www.kpai.go.id/publikasi-mainmenu-33/artikel/76-status-hukum-kewarganegaraan-hasil-perkawinan-campuran.html, diakses Pukul 10.52, Tanggal 8 Desember 2010 di Surakarta).
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 Kewarganegaraan (http://panmohamadfaiz.com/2007/04/24/kewarganegaraan-ganda-untuk-anak/ di akses Pukul 11.12 Tanggal 8 Desember 2010 di Surakarta).
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas (kewarganegaraan ganda terbatas) ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-Undang kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam Undang-Undang tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Definisi anak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan dan dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah. Asas Ius Soli; Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Asas Ius Sanguinis; Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.
Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Appatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).
Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya; memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu, dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, bertempat tinggal diluar wilayah negara republic Indonesia selama 5 (liama0 tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas negara, tanpa alas an yang sah dan dengan sngaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonedia sebelum jangka waktu 5(liama) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernytaaan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena Undang-Undang baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.
B. Tata Cara Pendaftaran Kewarganegaraan Ganda Bagi Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang Kewarganegaraan baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah menyebutkan dalam Pasal 4 bahwa anak yang lahir dari perkawinan yang sah antara seorang ayah Warganegara Asing (WNA) dan seorang ibu Warganegara Indonesia (WNI) termasuk sebagai Warga Negara Indonesia. Bagi anak-anak yang lahir sebelum UU ini disahkan, seperti halnya dalam kasus anak-anak Ibu, maka berdasarkan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 anak-anak tersebut (dengan syarat belum berusia 18 tahun dan belum kawin) dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan cara mendaftarkan diri pada Menteri melalui pejabat atau perwakilan republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 diundangkan.
Tata cara pendaftaran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 Dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (http://www.docstoc.com/docs/20488429/tatacara-memperoleh-kewarganegaraan-ganda-bagi-anak- diakses Pukul 10.58 Tanggal 8 Desember 2010 di Surakarta).
Pendaftaran untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak yang berayahkan WNA dan beribukan WNI dilakukan oleh salah seorang dari orang tua atau walinya dengan mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai cukup. Permohonan pendaftaran tersebut bagi anak yang bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Permohonan pendaftaran bagi anak yang bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia diajukan kepada Menteri melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Dalam hal di negara tempat tinggal anak belum terdapat Perwakilan Republik Indonesia, maka permohonan pendaftaran dilakukan melalui Kepala Perwakilan Republik Indonesia terdekat.
Dengan demikian, jika anak-anak Ibu bertempat tinggal di Malaysia, maka dapat mengajukan permohonannya melalui KBRI di Kuala Lumpur atau Konsulat Jenderal RI yang terdekat dengan kediaman anak. Begitu pun halnya jika bertempat tinggal di Jerman, dapat menghubungi KBRI atau KonJen RI yang terkait. Permohonan pendaftaran sekurang-kurangnya memuat:
1. nama lengkap, alamat tempat tinggal salah seorang dari orang tua atau wali anak;
2. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir serta kewarganegaraan kedua orang tua;
3. nama lengkap, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, status perkawinan anak serta hubungan hukum kekeluargaan anak dengan orang tua; dan
4. kewarganegaraan anak.
Permohonan pendaftaran harus dilampiri dengan:
1. fotokopi kutipan Akte kelahiran anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. surat pernyataan dari orang tua atau wali bahwa anak belum kawin;
3. fotokopi kartu tanda penduduk atau paspor orang tua anak yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia; dan
4. pas foto anak terbaru berwarna ukuran 4X6 cm sebanyak 6 (enam) lembar.
Selain lampiran sebagaimana dimaksud bagi anak yang lahir dari perkawinan yang sah harus melampirkan fotokopi kutipan Akte perkawinan/buku nikah. Apabila orang tua bercerai atau salah satu diantaranya telah meninggal dunia, maka dengan melampirkan kutipan Akte perceraian/surat talak/perceraian atau keterangan/kutipan Akte kematian salah seorang dari orang tua anak yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia. Permohonan pendaftaran menggunakan bentuk formulir sebagaimana tercantum dalam lampiran I Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut.
Dalam hal permohonan pendaftaran telah dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan keputusan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak permohonan pendaftaran diterima dari Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia. Keputusan tersebut dibuat dalam rangkap 3 (tiga), dengan ketentuan:
1. rangkap pertama diberikan kepada orang tua atau wali anak melalui Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia;
2. rangkap kedua dikirimkan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia sebagai arsip; dan
3. rangkap ketiga disimpan sebagai arsip Menteri.
Keputusan Menteri tersebut disampaikan kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri ditetapkan. Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia menyampaikan Keputusan Menteri tersebut kepada orang tua atau wali anak yang memohon pendaftaran paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak Keputusan Menteri diterima. Permohonan pendaftaran anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diproses apabila telah diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling lambat pada tanggal 1 Agustus 2010. Dalam hal permohonan pendaftaran anak diajukan secara lengkap kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia melalui pos hanya dapat diproses apabila stempel pos pengiriman tertanggal paling lambat tanggal 1 Agustus 2010.
Dengan demikian anak-anak Ibu akan memiliki kewarganegaraan ganda, dan di usia 18 tahun nanti atau sebelumnya apabila menikah sebelum 18 tahun, anak-anak Ibu harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan tersebut.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan yang ada pada bab II diaatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan status hukum kewarganegaraan hasil perkawinan campuran dan juga tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan campuran, yaitu :
1. Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena Undang-Undang baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.
2. Tata cara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil prkawinan campuran diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 yaitu Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.

B. Saran
Pada era sekarang ini perkawinan campuran sudah bukan menjadi hal yang aneh, karena sudah merambah ke seluruh pelosok negeri dan membawa konsekuensi pada berbagai hal. Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah diharap dapat menerapkan Undang-Undang kewarganegaraan dengan baik demi mengurangi konsekuensi yang dapat ditimbulkan dari adanya perkawinan campuran terutama berkaitan dengan status hukum dan tatacara pendaftaran kewarganegaraan ganda bagi anak hasil perkawinan caampuran.