Entri Populer

Selasa, 12 April 2011

TEORI BELAJAR

A. PENDAHULUAN
Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita  semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan seterusnya, sehingga ada varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat
dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri.
Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang lebih penting untuk kita pahami adalah
teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai
untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran.


B. BEHAVIORISME
 
Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran.
Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi
(gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam
melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah
pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku
seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang
tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus.
Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov
dengan teorinya yang disebut classical conditioning, John B. Watson yang dijuluki
behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law of Efect),
dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.

1. Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov



Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning
di dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat,
bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the
Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya
disebut klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula
yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk
membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.
a. Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan
oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur
membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing
eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan.
Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai
mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa
beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh
anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan
seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur
ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian
(makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian
(mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti
membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi
lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing
tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi
lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing
tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi
lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan
keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.

b. Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan koleganya berhasil
mengidentifikasi empat proses: acquisition (akuisisi/fase dengan pengkondisian),
extinction (eliminasi/fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan
discrimination (diskriminasi).
1) Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi—sebagai
contoh, anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor
yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat
ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan
selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons
yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus
kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama—sebagai
contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi—conditioning jarang
terjadi.
2) Fase Eliminasi
Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara
permanen. Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons
kondisi dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor
anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat
secara berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi
lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya.
3) Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada
kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang
anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut
generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang
intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap anjing
yang lebih kecil.
4) Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu
belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang
sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons
takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut
ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.

2. Teori Stimulus-Respons John Watson

Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya
Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam
pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada
atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri.
Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk
mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap
lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut
memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah komparatif yaitu
membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya
Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam
menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau
seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R
(stimulus-response).
a. Percobaan John Watson
Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya,
Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari
atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian
berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten
risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert.
Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang
tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut
dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada
suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.
b. Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya
menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli
yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan
pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen
tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus
fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap
objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat
memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional
—seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang
tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki
pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan
kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa
yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan
melihat alamat pengirim yang tertera di sampul surat kemungkinan menimbulkan
perasaan senang dan hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat
fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol
dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi
melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara
berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase
eliminasi (eliminasi stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap
objek tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk pecandu alkohol, penderita
meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut
sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung
begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari
terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang
dihadapinya.

3. Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike


Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia
University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka
pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru
berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan
untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal
munculnya operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi
atau efek dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk
menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang
disadari.
a. Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk
melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan
kecil yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons
yang benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan
terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar
kotak.
Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama
untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian,
pada akhirnya hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima
hadiahnya: lolos dan makanan.
 Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara
berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat.
Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik
untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
b. Kesimpulan Thorndike
Thorndike menggunakan 'kurva waktu belajar' tersebut untuk membuktikan
bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan
hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi
sampai benar).
Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam
eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya
yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika
hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga
catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang
signifikan. Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error
dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan
dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut
hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang
menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya,
perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga
cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan
bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk
lolos 'diperkuat' setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang
menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner
dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
4. Pengkondisian Disadari B.F. Skinner
Burrhus Frederic "B. F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan.
Bercita-cita menjadi seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis.
Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada
suatu saat secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya
Watson. Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia memutuskan
untuk belajar Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh gelar Ph.D. pada
tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua universitas, Ia kembali mengajar di
almamaternya hingga menjadi profesor di tahun 1948.
Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar
dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting
dari operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman.
Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat
menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada
kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi istilah operant
conditioning.
Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga
pengakuan kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan
menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam
kehidupannya sehari-hari.
a. Percobaan Skinner
Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa
mempelajari perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang
kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner
berupa ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan
respons sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di
dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda
dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang
diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari kotak; (2)
persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga penguat
hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant response (respons yang disadari)
 membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor hewan dapat melakukan respons
ratusan bahkan ribuan kali per jamnya. Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat
mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola
pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.
b. Prinsip-prinsip Operant Conditioning
Selama lebih 60 tahun dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip
mendasar dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar
perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah
reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan),
extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).
1) Penguatan
Reinforcement (penguatan) berarti proses yang memperkuat perilaku—yaitu,
memperbesar kesempatan supaya perilaku tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori umum
reinforcement, yaitu positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner
menggambarkan reinforcement positif, suatu metode memperkuat perilaku dengan
menyertaikan stimulus yang menyenangkan. Reinforcement positif merupakan metode
yang efektif dalam mengendalikan perilaku baik hewan maupun manusia. Untuk
manusia, penguat positif meliputi item-item mendasar seperti makanan, minuman, seks,
dan kenyamanan yang bersifat fisikal. Penguat positif lain meliputi kepemilikan materi,
uang, persahabatan, cinta, pujian, penghargaan, perhatian, dan sukses karir seseorang.
Bergantung pada situasi dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat
perilaku baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak kemungkinan
mau bekerja keras di rumah maupun di sekolah karena penghargaan yang mereka terima
dari orang tua maupun gurunya karena unjuk kerjanya yang bagus. Namun demikian,
mereka mungkin juga mengganggu kelas, mencoba melakukan hal-hal yang berbahaya,
atau mulai merokok karena perilaku-perilaku tersebut mengarahkan perhatian dan
penerimaan dari kelompok sebayanya. Salah satu penguat yang paling umum untuk
perilaku manusia adalah uang. Banyak orang dewasa menghabiskan waktunya selama
berjam-jam untuk pekerjaan mereka karena imbalan upah. Untuk individu tertentu, uang
dapat juga menjadi penguat untuk perilaku yang tidak diinginkan, seperti perampokan,
penjualan obat bius, dan penggelapan pajak.
Reinforcement negatif merupakan suatu cara untuk memperkuat suatu perilaku
melalui cara menyertainya dengan menghilangkan atau meniadakan stimulus yang tidak
menyenangkan. Ada dua tipe reinforcement negatif: mengatasi dan menghindari. Di
dalam tipe pertama (mengatasi), seseorang melakukan perilaku khusus mengarah pada
menghilangkan stimulus yang tidak mengenakkan. Sebagai contoh, jika seseorang
dengan sakit kepala mencoba obat jenis baru pengurang rasa sakit dan sakit kepalanya
dengan cepat hilang, orang ini kemungkinan akan menggunakan obat itu lagi ketika
terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe kedua (menghindari), seseorang melakukan suatu
perilaku menghindari akibat yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, pengemudi
kemungkinan mengambil jalur tepi jalan raya untuk menghindari tabrakan beruntun,
pengusaha membayar pajak untuk menghindari denda dan hukuman, dan siswa
mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menghindari nilai buruk
2) Hukuman
Apabila reinforcement memperkuat perilaku, hukuman memperlemah,
mengurangi peluangnya terjadi lagi di masa depan. Sama halnya dengan reinforcement,
ada dua macam hukuman, positif dan negatif.
Hukuman yang positif meliputi mengurangi perilaku dengan memberikan
stimulus yang tidak menyenangkan jika perilaku itu terjadi. Orang tua menggunakan
hukuman positif ketika mereka memukul, memarahi, atau meneriaki anak karena perilaku
yang buruk. Masyarakat menggunakan hukuman positif ketika mereka menahan atau
memenjarakan seseorang yang melanggar hukum.
Hukuman negatif atau disebut juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku
dengan menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang
tua yang membatasi gerakan anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena
perbuatan anaknya yang buruk merupakan contoh hukuman negatif.
Kontroversi yang besar terjadi manakala membicarakan apakah hukuman
merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau meniadakan perilaku yang tidak
diinginkan. Eksperimen dalam laboratorium yang sangat hati-hati membuktikan bahwa,
ketika hukuman digunakan dengan bijaksana, ternyata menjadi metode yang efektif
dalam mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki
beberapa kelemahan. Ketika seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi
marah, agresif, atau reaksi emosional negatif lainnya. Mereka mungkin menyembunyikan
bukti-bukti perilaku salah mereka atau melarikan diri dari situasi buruknya, seperti halnya
ketika seorang anak lari dari rumahnya. Lagi pula, hukuman mungkin mengeliminasi
perilaku yang dikehendaki bersamaan dengan hilangnya perilaku yang tidak dikehendaki.
Sebagai contoh, seorang anak yang dipukul karena membuat kesalahan di depan kelas
kemungkinan tidak berani lagi tunjuk jari. Karena alasan ini dan beberapa alasan lainnya,
banyak pakar psikologi yang merekomendasikan bahwa hukuman hanya boleh dilakukan
untuk mengontrol perilaku ketika tidak ada alternatif lain yang lebih realistis.
3) Pembentukan
Pembentukan merupakan teknik penguatan yang digunakan untuk mengajar
perilaku hewan atau manusia yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dalam
cara ini, guru memulainya dengan penguatan kembali suatu respons yang dapat dilakukan
oleh pembelajar dengan mudah, dan secara berangsur-angsur ditambah tingkat kesulitan
respons yang dibutuhkan. Sebagai contoh, mengajar seekor tikus menekan tuas yang
terletak di atas kepalanya, pelatihnya dapat pertama-tama memberikan hadiah pada
gerakan kepala apapun ke arah atas, kemudian gerakan ke arah atas 2,5 cm, dan
seterusnya, sampai gerakan tersebut mampu menekan tuas.
Pakar psikologi telah menggunakan shaping (pembentukan) ini untuk
mengajarkan kemampuan berbicara pada anak-anak dengan keterbelakangan mental yang
parah dengan pertama-tama memberikan hadiah pada suara apa pun yang mereka
keluarkan, dan kemudian secara berangsur menuntut suara yang semakin menyerupai
kata-kata dari gurunya. Pelatih binatang di dalam sirkus dan kebun binatang
menggunakan shaping ini untuk mengajar gajah berdiri dengan hanya bertumpu pada
kaki belakangnya saja, harimau berjalan di atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang
berputar ke arah belakang, dan paus pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui
lingkaran.

4) Eliminasi Penguatan
Sebagaimana dalam classical conditioning, respons yang dipelajari di dalam
operant conditioning tidak selalu permanen. Di dalam operant conditioning, extinction
(eliminasi kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang dipelajari dengan
menghentikan penguat dari perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah belajar menekan tuas
karena dengan melakukan ini hewan tersebut menerima makanan, tingkat penekanannya
pada tuas akan berkurang dan pada akhirnya berhenti sama sekali jika makanan tidak lagi
diberikan. Pada manusia, menarik kembali penguat akan menghilangkan perilaku yang
tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang tua seringkali memberikan reinforcement negatif
sifat marah anak-anak muda dengan memberinya perhatian. Jika orang tua mengabaikan
saja kemarahan anak-anak dengan lebih memberikannya hadiah berupa perhatian
tersebut, frekuensi kemarahan dari anak-anak tersebut seharusnya secara berangsurangsur
akan berkurang.
5) Generalisasi dan Diskriminasi
Generalisasi dan diskriminasi yang terjadi di dalam operant conditioning nyaris
sama dengan yang terjadi di dalam classical conditioning. Dalam generalisasi, seseorang
suatu perilaku yang telah dipelajari dalam suatu situasi dilakukan dalam kesempatan lain
namun situasinya sama. Sebagai misal, seseorang yang diberi hadiah dengan tertawa atas
ceritanya yang lucu di suatu bar akan mengulang cerita yang sama di retoran, pesta, atau
resepsi pernikahan. Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan
diperkuat dalam suatu situasi namun tidak dalam situasi lain. Seseorang akan belajar
bahwa menceritakan leluconnya di dalam gereja atau dalam situasi bisnis yang
memerlukan keseriusan tidak akan membuat orang tertawa. Stimuli diskriminatif
memberikan peringatan bahwa suatu perilaku sepertinya diperkuat negatif. Orang
tersebut akan belajar menceritakan leluconnya hanya ketika ia berada pada situasi yang
riuh dan banyak orang (stimulus diskriminatif). Belajar ketika perilaku akan dan tidak
akan diperkuat merupakan bagian penting dari operant conditioning.
c. Penerapan Operant Conditioning
Operant conditioning memiliki manfaat praktis di dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua dapat memperkuat perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan
hukuman pada perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik
generalisasi dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
situasi-situasi tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik yang
bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Perusahaan menggunakan hadiah
untuk memperbaiki kehadiran, produktivitas, dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya.
Pakar psikologi yang disebut terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar
operant conditioning untuk merawat anak-anak atau orang dewasa yang memiliki
kelainan pakar psikologiis ataupun masalah perilaku. Terapis perilaku ini menggunakan
teknik shaping untuk mengajar keterampilan bekerja pada orang-orang dewasa yang
mengalami keterbelakangan mental. Mereka menggunakan teknik reinforcement untuk
mengajar keterampilan merawat diri sendiri pada orang-orang yang menderita sakit
mental yang parah, dan menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk
mengurangi perilaku agresif dan antisosial dari orang-orang tersebut. Pakar psikologi
juga menggunakan teknik operant conditioning untuk merawat kecenderungan bunuh
diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan, kecanduan obat terlarang, perilaku
nkonsumtif, kelainan perilaku dalam makan, dan masalah lainnya.
C. KOGNITIVISME
Menjelang berakhirnya tahun 1950-an banyak muncul kritik terhadap
behaviorisme. Banyak keterbatasan dari behaviorisme dalam menjelaskan berbagai
masalah yang berkaitan dengan belajar. Banyak pakar psikologi waktu itu yang
berpendapat behaviorisme terlalu fokus pada respons dari suatu stimulus dan perubahan
perilaku yang dapat diamati.
Kognitivis mengalihkan perhatiannya pada “otak”. Mereka berpendapat
bagaimana manusia memproses dan menyimpan informasi sangat penting dalam proses
belajar. Akhirnya proposisi (gagasan awal) inilah yang menjadi fokus baru mereka.
Kognitivisme tidak seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun lebih
cenderung perluasannya, khususnya pada gagasan eksistensi keadaan mental yang bisa
mempengaruhi proses belajar. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa
belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa,
pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Mereka meneliti bagaimana manusia
memproses informasi dan membentuk representasi mental dari orang lain, objek, dan
kejadian.
1. Percobaan Tollman
Sesungguhnya, pada tahun 1930 pakar psikologi AS Edward C. Tolman sudah
meneliti proses kognitif dalam belajar dengan penelitian eksperimen bagaimana tikus
belajar mencari jalan melintasi maze (teka-teki berupa jalan yang ruwet). Ia menemukan
bukti bahwa tikus-tikus percobaannya membentuk “peta kognitif” (atau peta mental)
bahkan pada awal eksperimen, namun tidak menampakakan hasil belajarnya sampai
mereka menerima penguatan untuk menyelesaikan jalannya melintasi maze—suatu
fenomena yang disebutnya latent learning atau belajar latent. Eksperimen Tolman
menunjukkan bahwa belajar adalah lebih dari sekedar memperkuat respons melalui
penguatan.
2. Jerome Bruner
Jerome Bruner adalah guru besar di dua universitas terkemuka dunia yaitu
Harvard (AS) dan Oxford (Inggris). Yatim di usia 12 tahun dan keluarga yang sering
pindah tidak menghalanginya untuk berprestasi. Bruner memiliki peran besar dalam
perubahan arus utama psikologi dari behaviorisme ke kognitivisme pada dekade 1950-an
dan 1960-an. Karya pentingnya yang secara eksplisit mengawali kognitivisme diterbitkan
tahun 1956, A Study in Thinking. Dalam bukunya tersebut Bruner mendefinisikan proses
kognitif sebagai “alat bagi organisme untuk memperoleh, menyimpan, dan
mentransformasi informasi.” Bruner juga pelopor utama konstruktivisme.
Gagasan utama Bruner didasarkan kategorisasi. "Memahami adalah kategorisasi,
konseptualisasi adalah kategorisasi, belajar adalah membentuk kategori-kategori,
membuat keputusan adalah kategorisasi." Bruner berpendapat bahwa orang
menginterpretasikan dunia melalui persamaannya dan perbedaannya. Sebagaimana
halnya Taksonomi Bloom, Bruner berpendapat tentang adanya suatu sistem pengkodean
di mana orang membentuk susunan hierarkhis dari kategori-kategori yang saling
berhubungan. Gagasannya yang disebut instructional scaffolding (dukungan dalam
pembelajaran) ini berupa hierarkhi kategori berjenjang di mana semakin tinggi semakin
spesifik, menyerupai gagasan Benjamin Bloom tentang perolehan pengetahuan.
Bruner mengemukakan ada dua mode utama dalam berpikir: naratif dan
paradigmatik. Dalam berpikir naratif, pikiran fokus pada berpikir yang sekuensial,
berorientasi pada kegiatan, dan dorongan berpikir secara rinci. Dalam berpikir
paradigmatik, pikiran melampaui kekhususan sehingga memperoleh pengetahuan yang
sistematis dan kategoris. Pada mode pertama, proses berpikir seperti halnya cerita atau
drama. Pada mode kedua, berpikir secara berstruktur seperti halnya menghubungkan
berbagai gagasan mendasar dengan cara yang logis.
Dalam penelitiannya terhadap perkembangan anak (1966), Bruner menelorkan
gagasan tentang tiga mode representasi: representasi enactive (berbasis tindakan),
representasi iconic (berbasis gambaran), dan representasi simbolik (berbasis bahasa).
Semua representasi mode tersebut tidak bisa dijelaskan sebagai jenjang yang terpisah,
namun terintegrasi dan hanya terpisah secara sekuensial selagi "diterjemahkan" satu sama
lain. Representasi simbolik menjadi mode terakhir, karena yang paling misterius dari
ketiganya. Teori Bruner berpendapat adalah produktif ketika menghadapi materi baru
dengan mengikuti representasi secara progressif dari enactive ke iconic baru ke simbolik;
bahkan hal ini juga berlaku bagi pembelajar dewasa. Untuk para perancang kegiatan
pembelajaran, karya Bruner tersebut juga berpendapat bahwa seorang pembelajar bahkan
ketika masih belia sudah mampu mempelajari materi dalam waktu lama apabila materi
tersebut diorganisasi secara baik. Pendaapat ini sangat berbeda dengan teori Piaget dan
teoris tentang tahapan perkembangan yang lain.
3. Teori Noam Chomsky dalam Belajar Bahasa
Avram Noam Chomsky adalah profesor emeritus bidang linguistik di
Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia mengawali revolusi kognitif dalam
psikologi di tahun 1959 dengan menulis "A Review of B. F. Skinner's Verbal Behavior"
 di jurnal Language. Buku Skinner yang direview Chomsky berjudul Verbal behavior
tersebut terbit tahun 1957.
Chomsky menganggap terjadi kesalahan dalam bagian tulisan Skinner tentang
perkembangan bahasa seseorang. Chomsky mengemukakan bahwa anak-anak di seluruh
dunia mulai belajar berbicara rata-rata pada usia yang sama dan berkembang melalaui
tahapan-tahapan yang rata-rata sama pula meskipun tanpa secara eksplisit diajar atau
diberi hadiah untuk upayanya tersebut. Menurut Chomsky, kapasitas manusia untuk
belajar bahasa adalah bawaan. Ia memiliki teori bahwa otak manusia memiliki
“hardware” untuk bahasa sebagai hasil dari evolusi. Dengan menunjuk fungsi vital
disposisi biologis dalam perkembangan bahasa, teori Chomsky memukul secara telak
asumsi behavioris bahwa semua perilaku manusia dibentuk dan dipertahankan melalui
reinforcement (penguatan).
Dalam meneliti belajar bahasa, Chomsky fokus pada pertanyaan-pertanyaan
tentang cara kerja dan perkembangan struktur internal bawaan untuk sintaksis yang
mampu secara kreatif mengorganisasi, menyatukan, menyesuaikan, dan
mengkombinasikan kata-kata dan frase-frase menjadi tutur yang dapat dipahami.
Dalam reviewnya Chomsky menekankan bahwa penerapan ilmiah prinsip-prinsip
behaviorisme dari penelitian terhadap hewan sangat kurang memadai dalam memberikan
penjelasan tentang perilaku verbal manusia karena teori tersebut membatasi diri terhadap
kondisi eksternal. Meneliti "apa yang dipelajari" saja tidak memadai untuk menjelaskan
tata bahasa generatif. Chomsky menekankan contoh-contoh perolehan bahasa yang cepat
oleh anak-anak, termasuk cepat berkembangnya kemampuan untuk membentuk kalimat
yang sesuai tata bahasa.
Chomsky memiliki prinsip bahwa untuk memahami perilaku verbal manusia
seperti aspek-aspek kreatif dari penggunaan dan pengembangan bahasa, seseorang harus
pertama-tama menerima postulat (dalil) adanya genetika yang membawa kemampuan
linguistik.
4. Teori Piaget
    Piaget profesor psikologi di Universitas Jenewa, Swiss. Teorinya tentang
perkembangan kognitif anak (dibahas pada bab tersendiri) merupakan salah satu tonggak
munculnya kognitivisme. Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan logika
berpikir dari bayi sampai dewasa.
Piaget memiliki asumsi dasar kecerdasan manusia dan biologi organisme
berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya adalah sistem terorganisasi yang secara
konstan berinteraksi dengan lingkungan.
Pengetahuan merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan. Outcome
dari perkembangan kognitif adalah konstruksi dari schema kegiatan, operasi konkret dan
operasi formal. Komponen perkembangan kognitif adalah asimilasi dan akomodasi, yang
diatur secara seimbang. Memfasilitasi berpikir logis melalui ekperimentasi dengan objek
nyata, yang didukung boleh interaksi antara peer dan guru. (Schema adalah struktur
terorganisasi yang merefleksikan pengetahuan, pengalaman, dan harapan dari individu
terhadap berbagai aspek dunia nyata).
Sebagaimana Bruner, Piaget juga memelopori lahirnya konstruktivisme.
5. Teori Vygotsky
Lev Vygotsky adalah pakar psikologi lulusan Insitut Psikologi Moskow, Uni
Soviet (sekarang Rusia). Meninggal pada tahun 1930-an di usia relatif muda (40 tahun)
karena penyakit TBC, ia meninggalkan banyak karya yang banyak dieksplorasi orang
hingga kini.
Dalam masa karir akademiknya yang singkat, Vygotsky aktif di sejumlah bidang
akademik, termasuk analisis psikologis dalam seni dan cerita rakyat; psikologi anak yang
meliputi masalah anak-anak tuna rungu dan tuna grahita; dan analisis psikologis untuk
orang dewasa penderita kerusakan otak. Karya utamanya antara lain Thought and
Language (1937), Selected Psychological Studies (1956), dan Development of the Higher
Mental Processes (1960).
Karyanya dalam bidang perkembangan bahasa dan linguistik didasarkan atas
hipotesisnya bahwa proses kognitif tingkat tinggi merupakan hasil dari perkembangan
sosial.
 Semula penganut teori Pavlov, Vygotsky berbalik menentangnya karena ia
berpendapat bahwa stimulus dan respons saja tidak cukup untuk menjelaskan tentang
realitas aktivitas manusia. Aktivitas yang dilakukan manusia membutuhkan 'mediator'
ekstra melalui alat atau bahasa. Dengan menggunakan alat kita dapat melakukan kegiatan
di lingkungan fisik dan dengan bahasa kita dapat melakukan kegiatan di lingkungan
konseptual dan sosial sehingga dapat melakukan perubahan. Dengan demikian Vygotsky
membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan
bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika
seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu.
Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.
Dari awal risetnya tentang aturan dan perilaku tentang perkembangan penggunaan
alat dan penggunaan tanda, Vygotsky berpaling ke proses simbolik dalam bahasa. Ia
fokus pada struktur semantik dari kata-kata dan cara bagaaimana arti kata-kata berubah
dari emosional ke konkret sebelum menjadi lebih abstrak.
Karya-karya Vygotsky antara 1920-1930 memberikan penekanan bagaimana
interaksi anak-anak dengan orang dewasa berkontribusi dalam pengembangan berbagai
keterampilan. Menurut Vygotsky, orang dewasa yang sensitif akan peduli terhadap
kesiapan anak untuk tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang
cocok untuk mengembangkan keterampilan baru. Orang dewasa berperan sebagai mentor
dan guru, mengarahkan anak ke dalam zone of proximal development—istilah dari
Vygotsky yang berarti suatu zone perkembangan di mana anak tidak mampu melakukan
suatu kegiatan belajar tanpa bantuan namun dapat melakukannya secara baik di bawah
bimbingan orang dewasa. Orang tua mungkin bisa mengajar konsep-konsep angka yang
sederhana, sebagai misal, dengan menghitung manik-manik bersama anak atau
menghitung mengukur bahan-bahan ketika memasak dengan menggunakan takaran.
Ketika anak-anak berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari seperti ini dengan orang tua,
guru, dan orang lain, mereka akan secara bertahap mempelajari praktik buadaya, nilainilai,
ketrampilan.
D. TEORI HUMANISME “KEKUATAN KETIGA”
Dihadapkan pada dua pilihan antara behaviorisme dan psikoanalisis yang
termasuk kognitivisme banyak pakar psikologi di era tahun 1950-an dan 1960-an yang
memilih ke alternatif konsepsi psikologis sifat dasar manusia. Freud telah memusatkan
perhatian pada kekuatan sisi gelap ketidaksadaran, dan Skinner hanya tertarik pada
pengaruh penguatan dari perilaku yang dapat diamati. Lahirlah Psikologi Humanistik
untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang kesadaran pikiran, kebebasan kemauan,
martabat manusia, kemampuan untuk berkembang dan kapasitas refleksi diri. Karena
menjadi alternatif terhadap behaviorismedan kognitivisme, Psikologi humanistik atau
humanisme menjadi lebih terkenal sebagai “kekuatan ketiga.”
Humanisme dipelopori oleh pakar psikologi Carl Rogers dan Abraham Maslow.
Menurut Rogers, semua manusia yang lahir sudah membawa dorongan untuk meraih
sepenuhnya apa yang diinginkan dan berperilaku dalam cara yang konsisten menurut diri
mereka sendiri. Rogers, seorang psikoterapis, mengembangkan person-centered therapy,
suatu pendekatan yang tidak bersifat menilai ataupun tidak memberi arahan yang
membantu klien mengklarifikasi dirinya tentang siapa dirinya sebagai suatu upaya
fasilitasi proses memperbaiki kondisinya. Hampir pada saat yang bersamaan, Maslow
mengemukakan teorinya bahwa semua orang memiliki motivasi untuk memenuhi
kebutuhannya yang bersifat hierarkhis. Pada bagian paling bawah dari hirarkhi ini adalah
kebutuhan-kebutuhan fisikal seperti rasa lapar, haus, dan mengantuk. Di atasnya adalah
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, dan kepercayaan diri
yang berkaitan dengan kebutuhan akan status dan pencapaian. Ketika berbagai kebutuhan
ini terpenuhi, Maslow yakin, orang akan meraih aktualisasi diri, suatu puncak
pemenuhan kebutuhan dari seseorang. Sebagaimana kata Maslow, “Seorang musisi
haruslah mencipta lagu, seorang pelukis harus melukis, seorang penyair harus menulis
puisi, jika ia ingin damai dengan dirinya. Apa yang ia mampu lakukan, ia harus lakukan.”
Gagasan lain dari humanisme dapat diringkas sebagai berikut:
1. Setiap orang memiliki kapasitas untuk berkembang.
2. Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih tujuan hidupnya.
3. Humanisme menekankan pentingnya kualitas hidup manusia.
4. Setiap orang memiliki kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya.
5. Persepsi pribadi seseorang terhadap dirinya sendiri lebih penting dari lingkungan.
 6. Setiap orang memiliki potensi untuk memahami dirinya sendiri.
7. Setiap orang seharusnya memberikan dukungan pada orang lain sehingga semua memiliki citra diri yang    positif serta pemahaman diri yang baik.
8. Carl Rogers menekankan pentingnya suasana lingkungan yang hangat dan bisa
menjadi terapi.
9. Abraham Maslow berpendapat bahwa potensi kita sesunggahnya tidak terbatas.
10. Terjadinya kebersamaan disebabkan adanya persepsi positif satu sama lain.
11. Rogers berpendapat bahwa seseorang akan tidak mempercayai hal-hal positif dari
dirinya dan rasa percaya dirinya rendah bila ada anggapan positif orang lain namun
bersyarat.
12. Konsep-diri adalah bagaimana seseorang mengenal potensinya, perilakunya, dan
kepribadiannya.
13. Realita adalah bagaimana sesungguhnya diri seseorang sedangkan idealisme adalah
bagaimana seseorang menginginkan dirinya menjadi apa.
14. Anggapan positif tanpa syarat, ketulusan dan empati membantu memperbaiki
hubungan seseorang dengan orang lain.
15. Seseorang akan bermanfaat bagi orang lain apabila terbuka terhadap pengalaman,
tidak terlalu mementingkan diri, peduli pada sekitarnya, dan memiliki hubungan yang
harmonis dengan orang lain.
16. Aktualisasi diri adalah dorongan untuk mengembangkan potensi secara penuh sebagai
manusia dari diri seseorang.
Salah satu kritikus terhadap humanisme mengatakan adalah sulit untuk mengukur
aktualisasi diri. Ada juga yang berpendapat humanisme terlalu optimis dalam
memandang manusia. Yang lain lagi mengatakan humanisme membangkitkan rasa
kekaguman pada diri sendiri.
E. KONSTRUKTIVISME
Dalam perkembangan selanjutnya, arus utama kognitivisme bergeser ke
konstruktivisme. Para kognitivis pun mengikuti dinamika perubahan menuju
konstruktivis.
1. Pengertian
Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses di mana pembelajar secara
aktif mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru
didasarkan atas pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu.
Dengan kata lain, ”belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari
pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri”. Dengan demikian, belajar menurut
konstruktivis merupakan upaya keras yang sangat personal, sedangkan internalisasi
konsep, hukum, dan prinsip-prinsip umum sebagai konsekuensinya seharusnya
diaplikasikan dalam konteks dunia nyata. Guru bertindak sebagai fasilitator yang
meyakinkan siswa untuk menemukan sendiri prinsip-prinsip dan mengkonstruksi
pengetahuan dengan memecahkan problem-problem yang realstis. Konstruktivisme juga
dikenal sebagai konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses sosial. Kita dapat
melakukan klarifikasi dan mengorganisasi gagasan mereka sehingga kita dapat
menyuarakan aspirasi mereka. Hal ini akan memberi kesempatan kepada kita
mengelaborasi apa yang mereka pelajari. Kita menjadi terbuka terhadap pandangan orang
lain Hal ini juga memungkinkan kita menemukan kejanggalan dan inkonsistensi karena
dengan belajar kita bisa mendapatkan hasil terbaik. Konstruktivisme dengan sendirinya
memiliki banyak variasi, seperti Generative Learning, Discovery Learning, dan
knowledge building. Mengabaikan variasi yang ada, konstruktivisme membangkitkan
kebebasan eksplorasi siswa dalam suatu kerangka atau struktur.
Dalam sidut pandang laiinya. konstruktivisme merupakan seperangkat asumsi
tentang keadaan alami belajar dari manusia yang membimbing para konstruktivis
mempelajari teori metode mengajar dalam pendidikan.
Nilai-nilai konstruktivisme berkembang dalam pembelajaran yang didukung oleh
guru secara memadai berdasarkan inisiatif dan arahan dari siswa sendiri.
Ada istilah lain yang sering disalahartikan sama dengan konstruktivisme, yaitu
maturationisme. Konstruktivisme (yang merupakan perkembangan kognitif) merupakan
suatu aliran yang "yang didasarkan pada gagasan bahwa proses dialektika atau interaksi
dari perkembangan dan pembelajaran melalui konstruksi aktif dari siswa sendiri yang
difasilitasi dan dipromosikan oleh orang dewasa " Sedangkan, "Aliran maturationisme
romantik didasarkan pada gagasan bahwa perkembangan alami siswa dapat terjadi tanpa
21
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
intervensi orang dewasa dalam lingkungan yang penuh kebebasan " (DeVries et al.,
2002).
2. Teori Tahapan Perkembangan Anak dari Piaget
Selama berabad-abad yang lalu gagasan konstruktivis kurang berkembang secara
luas disebabkan persepsi yang umum pada waktu itu bahwa kegiatan bermain yang
dilakukan siswa dalam pembelajaran tampaknya kurang penting atau yang lebih parah
dianggap tidak dapat mencapai apapun. Jean Piaget tidak setuju dengan pandangan
tradisional ini. Ia memandang kegiatan bermain sebagai sesuatu yang penting dan sangat
diperlukan sebagai bagian dari perkembangan kognitif siswa. Untuk mendukung
pandangannya tersebut, Piaget mengajukan bukti ilmiah. Pada saat ini, teori
konstruktivisme sangat mempengaruhi seluruh sektor pendidikan bahkan sektor
pendidikan informal.
Menurut Ernst von Glasersfeld (1996), Jean Piaget adalah "pelopor terbesar teori
konstruktivisme yang diketahui" serta "konstruktivis paling produktif di abad ini."
Namun apabila kita telusuri, jauh sebelumnya konstruktivisme sebagai gagasan sudah
dilontarkan oleh banyak tokoh pendidikan.
Gredler (2001) mengkategorikan Piaget sebagai konstruktivis radikal karena
menganggap bahwa konstruktivisme radikal muncul secara langsung sebagai akibat dari
teori Piaget tentang tahapan perkembangan kognitif anak.
Meskipun tidak ada teori perkembangan kognitif yang umum, teori yang paling
bersejarah dan berpengaruh adalah teori yang dikembangkan oleh Jean Piaget, Psikolog
berkebangsaan Swiss (1896-1980). Teorinya berisi konsep-konsep utama di bidang
psikologi perkembangan dan berkenaan dengan pertumbuhan intelegensi, yang untuk
Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih akurat merepresentasikan dunia, dan dan
mengerjakan operasi-operasi logis dari representasi-representasi konsep realitas dunia.
Teori ini memiliki fokus perhatian pada bangkitnya dan dimilikinya schemata—skema
bagaimana seseorang mengenal dunia—dalam saat "tingkatan-tingkatan perkembangan",
ketika anak-anak menerima cara baru bagaimana secara mental merepresentasikan informasi. Teori ini dianggap "konstruktivis", yang berarti bahwa, tidak seperti teori
nativis (yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai perkembangan dari
pengetahuan dan kemampuan bawaan) ataupun teori empiris (yang berpendapat bahwa
perkembangan kognitif sebagai perolehan gradual dari pengetahuan melalui
pengalaman), teori ini berpendapat bahwa kita mengkonstruksi kemampuan kognitif kita
melalui kegiatan motivasi-diri dalam dunia nyata. Karena teorinya ini, Piaget
mendapatkan Penghargaan Erasmus.
Piaget membagi skema Anak dalam menggunakan pemahamannya untuk
memahami dunia mealui empat tahapan utama, yang secara umum berkorelasi dengan
dan semakin bertambah canggih sejalan dengan bertambahnya usia:
a. Tahapan Sensorimotor (Usia 0-2 tahun)
Menurut Piaget, anak dalam tahapan sensorimotor lebih mengutamakan
mengeksplorasi dunia nyata dengan perasaan dibandingkan dengan melalui operasi
mental. Bayi terlahir dengan seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget, sebagai
tambahan dorongan untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema awalnya
dibentuk melalui diferensiasi refleks-refleks yang sama tersebut (lihat asimilasi dan
akomodasi di bagian berikut).
Tahapan sensorimotor merupakan tahapan paling awal dari empat tahapan.
Menurut Piaget, tahapan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan spasial esensial
dan pemahaman dari dunia nyata yang terdiri dari enam sub-tahapan.
Sub-tahapan pertama terjadi dari kelahiran sampai dengan enam minggu dan
berasosiasi terutama dengan perkembangan refleks. Tiga refleks utama dideskripsikan
oleh Piaget: memasukkan objek-objek ke mulut, mengikuti pandangan mata ke objek
begerak atau objek menarik, dan mengepalkan tangan ketika suatu objek kontak dengan
telapak tangan. Selama enam minggu kehidupan awal, refleks-refleks ini mulai menjadi
kegiatan yang disadari; sebagai contoh, refleks mengepal menjadi gerakan menangkap
dengan sengaja. (Gruber and Vaneche, 1977).
23
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Sub-tahapan kedua terjadi sejak usia enam minggu sampai empat bulan dan
terutama berasosiasi dengan kebiasaan. Ciri utamanya adalah reaksi berulang atau
pengulangan kegiatan yang pada awalnya hanya melibatkan satu bagian tubuhnya saja.
Contoh dari tipe reaksi ini antara lain mencakup seorang bayi berulang-ulang
menggerakkan tangannya di depan wajahnya. Juga pada tahapan ini dimungkinkan
dimulainya reaksi pasif, disebabkan oleh classical conditioning atau operant conditioning
(Gruber et al., 1977).
Sub-tahapan ketiga terjadi mulai bayi berusia empat bulan sampai sembilan bulan
dan terutama berasosiasi dengan koordinasi antara pandangan dengan pengenalan melalui
indera lainnya. Tiga kemampuan baru mulai dimiliki pada tahapan ini: menggenggam
dengan sengaja benda-benda yang diinginkan, reaksi berulang kedua, dan diferensiasi
terhadap cara dan keinginan. Pada tahapan ini, seorang bayi menggapai-gapai di udara
secara sengaja ke arah suatu objek yang diinginkannya, gerakan lucu yang seringkali
sangat disenangi oleh keluarganya. Reaksi berulang kedua, atau pengulangan terhadap
suatu gerakan yang melibatkan objek eksternal dimulai: seperti gerakan orang dewasa
memencet tombol lampu secara berulang. Ada kemungkinan ini merupakan satu dari
tahapan paling penting dari pertumbuhan anak karena ini sangat berarti bagi dimulainya
penalaran (Gruber et al., 1977). Bagian paling akhir dari dari sub-tahapan ini adalah bayi
mulai memiliki perasaan keberadaan objek secara permanen, semacam melalui tes
kesalahan A-bukan-B.
Sub-tahapan ke empat terjadi dari usia sembilan sampai dua belas bulan dan
berasosiasi terutama dengan perkembangan logika dan koordinasi antara cara dan
keinginan. Tahapan ini amat vital dari perkembangan, terjadi apa yang disebut Piaget
"kecerdasan sebenarnya pertama." Juga, tahapan ini ditandai dengan dimulainya orientasi
tujuan, perencanaan besar dari langkah-langkah untuk mencapai tujuan (Gruber et al.
1977).
Sub-tahapan kelima terjadi dari usia dua belas sampai delapan belas bulan dan
berasosiasi terutama dengan penemuan keinginan-keinginan baru untuk mencapai tujuan.
Piaget mendeskripsikan anak pada tahapan ini sebagai "cendekiawan muda," memulai
24
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
semacam eksperimen untuk menemukan metode baru dalam menemui tantangan (Gruber
et al. 1977).
Sub-tahapan ke enam berasosiasi terutama dengan dimulainya wawasan, atau
kretivitas yang sesungguhnya. Saat ini menandai transformasi menuju tahapan
preoperasional.
1) Peranan imitasi
Piaget merumuskan kegiatan imitatif merupakan pendahuluan dari simbolisme
mental.[1] Aktivitas tubuh, menirukan gerakan dari fenomena yang teramati, pada
akhirnya membangun pemberi arti tubuh/perilaku yang tertuju pada fenomena dalam cara
yang bisa diperbandingkan dengan simbol-simbol mental yang kemudian akan menjadi
fenomena-fenomena tersebut. Bentuk-bentuk imitatif seperti ini memfasilitasi dasar-dasar
kegiatan simbolik mental yang terbangun di kemudian hari. Simbolnya adalah, menurut
Piaget, suatu imitasi yang terinternalisasi.
Bagi Piaget, bahkan persepsi dari suatu objek merupakan aktivitas imitatif; ketika
mata melacak bentuk dari suatu objek ia akan membentuk konsep pre-simbolik dari objek
tersebut. Piaget mengungkapkan bahwa pengalaman akan berbagai gerakan di sini
kemungkinan diulangi oleh anak di dalam suatu peragaan singkat ketika mengingat-ingat
objek; Gambaran tubuh ini mensimbolkan objek yang telah dipersepsikan sebelumnya.
b. Tahapan Praoperational (Usia 2-7 tahun)
Tahapan preoperasional merupakan tahapan kedua dari empat tahapan
perkembangan kognitif. Dengan mengamati urutan bermain, Piaget dapat
mendemonstrasikan bahwa sampai dengan akhir tahun kedua secara kualitatif terjadi
fungsi psikologis jenis baru. Cara bekerja teori aliran Piaget adalah dalam berbagai
prosedur peran mental terhadap objek. Ciri pembeda dari tahapan preoperasional adalah
operasi mental yang jarang tidak memadai logika.
Menurut Piaget, tahapan Pre-Operasional dari perkembangan mengikuti tahapan
Sensorimotor dan terjadi antara usia 2-7 tahun. Tahapan ini meliputi beberapa proses:
25
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Symbolic functioning (pemfungsian simbol) – yang dicirikan oleh penggunaan
simbol-simbol mental berupa kata atau gambar yang digunakan anak untuk
merepresentasikan sesuatu yang secara fisik tidak ada.
Centration (pemusatan) – dicirikan oleh fokus atau pemusatan perhatian dari anak
pada hanya satu aspek dari stimulus atau situasi. Sebagai contoh, dalam menuangkan
sejumlah tertentu cairan dari dari wadah yang sempit ke dalam mangkuk yang dangkal,
anak prasekolah kemungkinan menyimpulkan bahwa kuantitas dari cairan telah
berkurang, karena menjadi "lebih rendah"—hal ini dikarenakan anak hanya
memperhatikan ketinggian air, namun tidak memperhitungkan diameter wadah yang
baru.
Intuitive thought (pemikiran intuitif) – terjadi ketika anak dapat mempercayai
sesuatu tanpa memahami mengapa dia mempercayai itu.
Egocentrism – suatu jenis centration, yang berarti suatu tendensi dari seorang
anak untuk memikirkan hanya sudut pandangnya sendiri saja. Juga, ketidakmampuan
anak untuk memahami sudut pandang orang lain.
Inability to Conserve (ketidak mampuan berbicara) – Melalui eksperimen yang
pernah dilakukan Piaget dalam percakapan (pembicaaan tentang massa, volume dan
angka) Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak pada tahapan preoperasional memiliki
persepsi yang kurang dalam pembicaraan tentang massa, volume, dan angka setelah
bentuk aslinya berubah. Sebagai contoh, seorang anak pada tahapan ini akan percaya
bahwa roti yang ditata berjajar dengan pola "O-O-O-O-O" akan memiliki jumlah yang
sama dengan roti yang ditata berjajar dengan pola "OO-O-OO-O", karena mereka
memiliki panjang atau ketinggian yang sama, atau cairan dalam gelas 8-ons yang yang
lonjong memiliki cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan cairan 8-ons dalam
gelas yang melebar (lihat juga centration, di atas).
c. Tahapan Operasional Konkret (Usia 7-11 tahun)
Tahapan Operasional Konkret merupakan tahapan ketiga dari empat tahapan
dalam teori perkembangan kognitif Piaget. Tahapan ini, yang merupakan kelanjutan dari
tahapan Preoperasional, terjadi ketika anak berusia antara 6 dan 11 tahun dan dicirikan
26
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
oleh penggunan logika yang memadai. Proses penting yang terjadi selama tahapan ini
adalah:
1) Decentering (tidak memusat)-ketika anak memperhitungkan berbagai aspek dari
suatu masalah untuk memecahkannya. Sebagai contoh, anak tidak lagi memiliki
persepsi bahwa gelas yang sangat lebar namun pendek dapat menampung cairan lebih
sedikit dibandingkan gelas yang lebarnya cukup namun lebih tinggi.
2) Reversibility (kemampuan membalik)-ketika seorang anak memahami bahwa jumlah
suatu objek dapat berubah, dan mengembalikannya pada keadaan semula. Dalam
kondisi demikian, anak dengan cepat dapat memutuskan bahwa 4+4 sama dengan 8,
8-4 sama dengan 4, jumlah sebenarnya.
3) Conservation (pembicaraan)-memahami bahwa kuantitas, panjang atau jumlah suatu
item tidak berhubungan dengan penyusunan atau kenampakan objek atau item
tersebut. Sebagai contoh, ketika pada seorang anak ditunjukkan dua wadah gelas dan
mangkuk, ia akan memahami bahwa jika air di dalam gelas dipindahkan ke dalam
mangkuk akan berubah ketinggiannya namun sama kuantitasnya dibandingkan
dengan wadah sebelumnya.
4) Serialisation (serialisasi)-kemampuan merangkai kembali objek secara berurutan
berdasarkan ukuran, bentuk, atau karakteristik lain. Sebagai contoh, jika mereka
diberi objek dengan gradiasi warna, mereka akan mengenal gradiasi warna tersebut.
5) Classification (klasifikasi)-yaitu kemampuan untuk menyebutkan nama dan
mengidentifikasi seperangkat objek menurut kenampakannya, ukuran atau
karakteristik lainnya, termasuk gagasan bahwa seperangkat objek dapat mencakup
objek lainnya. Seorang anak pada tahapan ini tidak lagi menjadi subjek pembatasan
yang tidak logis dari animisme (suatu kepercayaan bahwa semua objek adalah
binatang dan karenanya memiliki perasaan).
6) Elimination of Egocentrism (pembatasan egosentrisme)-kemampuan memandang
segala sesuatu dari perspektif orang lain (meskipun jika perpsektif itu tidak benar).
Sebagai contoh, perlihatkan seorang anak komik yang memperlihatkan Jane
meletakkan sebuah boneka di bawah kotak, meninggalkan ruangan, dan kemudian Jill
menggerakkan boneka tersebut ke laci, dan Jane kembali. Seorang anak dalam
tahapan konkret operasional akan mengatakan bahwa Jane akan tetap berpikir boneka
27
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
tersebut di bawah kotak meskipun anak tersebut tahu sesungguhnya bonekanya dalam
laci.
d. Tahapan operasional formal (Usia 11 tahun-Dewasa)
Tahapan Operasional Formal merupakan tahapan keempat dan terakhir dari
seluruh tahapan perkembangan kognitif anak dari Teori Piaget. Tahapan ini, yang
mengikuti tahapan Operasional Konkret, pada umumnya terjadi di sekitar usia 11 tahun
(pubertas) dan berlanjut ke masa kedewasaan. Karakteristik dari tahapan ini yaitu
memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak dan menarik kesimpulan dari informasi yang
berhasil diperolehnya. Selama tahapan ini seorang muda memiliki fungsi sebagaimana
orang dewasa dan nilai-nilai, "rahasia orang dewasa", dan nilai-nilai. Hal ini mudah
dimengerti, karena faktor-faktor biologis kemungkinan dapat dilacak dari tahapan ini
sebagaimana apa yang terjadi selama masa pubertas dan ditandai masuknya ke masa
dewasa dalam Physiology, kognitif, dan penilaian moral (Kohlberg), perkembangan
Psychosexual (Freud), dan perkembangan sosial (Erikson). Sekitar dua pertiga dari orang
tidak sepenuhnya sukses dalam tahapan ini, dan "terpaku" pada tahapan operasional
konkret.
e. Gambaran umum mengenai tahapan
Dari ke empat tahapan tersebut ditemukan karakteristik berikut ini:
1) Meskipun waktunya bervariasi, urutannya sama.
2) Berlaku secara universal (tidak dipengaruhi budaya tertentu)
3) Dapat digeneralisasikan: operasi yang logis dan representatif yang dialami seorang
anak seharusnya meluas ke semua konsep dan isi pengetahuan.
4) Tahapan-tahapan secara keseluruhan secara logis.
5) Hirarkhi alamiah dari urutan tahapan (setiap tahapan lanjutan merupakan elemen
kesatuan dari tahapan sebelumnya, namun lebih bervariasi dan terpadu).
6) Tahapan merepresentasikan perbedaan kualitatif dalam model berfikir, bukan hanya
perbedaan kuantitatif.
f. Kritik Bagi Teori Tahapan Perkembangan Piaget
28
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Teori Piaget tentang perkembangan ini mendapat banyak tantangan dari beberapa
aspek. Pertama, Piaget sendiri menyatakan, perkembangan tidak selalu berlangsung
dengan cara yang mulus seperti yang diprediksi dalam teorinya. 'Decalage', atau
kesenjangan yang tidak diperkirakan selama berlangsungnya perkembangan,
mengungkapkan bahwa model tahapan ini paling baik digunakan sebagai perkiraan.
Lebih jauh lagi, teori Piaget merupakan 'domain umum', memperkirkan bahwa
kematangan kognitif terjadi lintas domain yang berbeda secara bersamaan (seperti
matematika, logka, pemahaman fisika, bahasa, dsb). Namun demikian, para penganut
teori perkembangan kognitif aliran terkini sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dari
sains kognitif menjauh dari generalisasi domain dan menuju spesifikasi domain atau
modularitas pikiran, yaitu bagian-bagian kognitif yang berbeda kemungkinan sangat
independen satu sama lain sehingga berkembang dalam waktu yang amat berbeda. Dalam
aliran pemahaman tersebut, para penganut teori perkembangan kognitif aliran terkini
memberikan alasan bahwa daripada berada pada domain umum pembelajar, mereka lebih
cenderung pada teori yang berpendapat bahwa anak-anak sudah dilengkapi dengan teori
domain spesifik, yang lebih sering disebut 'inti pengetahuan', yang memungkinkan
mereka melakukan terobosan dalam belajar dalam domain tersebut. Sebagai contoh,
bahkan anak yang masih bayi menunjukkan pemahamannya pada beberapa prinsip dasar
fisika (seperti satu objek tidak dapat menembus objek lainnya) dan keinginannya
layaknya manusia yang sudah dewasa seseorang (seperti salah satu tanganya secara
berulang-ulang menggapai-gapai suatu objek untuk mendpatkan objek tersebut, bukan
hanya gerakan tanpa arti, namun lebih sebagai tujuan). Asumsi dasar ini kemungkinan
semacam blok-blok bangunan yang menyusun pengetahuan yang telah dikonstruksi
sehingga lebih terelaborasi.
3. Teori konstruktivisme
Munculnya teori konstruktivisme secara eksplisit pada dasarnya adalah berkat
Jean Piaget, yang menegaskan perbedaan pendapatnya tentang mekanisme internalisasi
pengetahuan pada diri pembelajar. Ia berpendapat bahwa melalui proses akomodasi dan
asimilasi, individu mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya. Asimilasi
terjadi ketika pengalaman baru dari individu cocok dengan representasi dunia nyata
29
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
dalam diri (internal) mereka. Mereka mengasimilasikan (menjadikannya sebagai bagian
dari dirinya) pengalaman baru itu dalam kerangka yang sudah ada. Asimilasi merupakan
proses membingkai kembali representasi mental seseorang dari dunia nyata supaya cocok
dengan pengalamannya yang baru. Akomodasi dapat dipahami sebagai suatu mekanisme
bagaimana mengubah suatu kegagalan menjadi keberhasilan melalui proses
pembelajaran. Ketika kita berharap bahwa dunia bekerja dengan cara sesuai keinginan
kita, dan ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, maka kemungkinan besar kita
mengalami kegagalan. Dengan mengakomodasi pengalaman baru ini dan membingkai
ulang model yang kita kehendaki, kita memperoleh hal baru dari belajar tentang
kegagalan.
Penting untuk dicatat bahwa konstruktivisme dengan sendirinya bukan merupakan
paedagogi tunggal yang istimewa. Kenyataannya, konstruktivisme menjelaskan
bagaimana berlangsungnya pembelajaran yang ideal, tanpa memandang apakah
pembelajar memanfaatkan pengalamannya untuk memahami materi ataukah
digunakannya untuk mencoba mendesain model pesawat terbang. Pada keduanya, teori
konstruktivisme menganggap yang penting adalah pembelajar mengkonstruksi
pengetahuannya. Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali
diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing.
a. Intervensi Konstruktivisme dalam pembelajaran
1) Kondisi alamiah pembelajar
a). Pembelajar adalah individu yang unik
Konstruktivisme sosial memandang setiap pembelajar sebagai individu yang unik
dengan keunikan kebutuhan dan latar belakang. Pembelajar juga dipandang secara
kompleks dan multidimensional. (Gredler 1997). Konstruktivisme sosial bukan hanya
memahami keunikan dan kompleksitas pembelajar, namun juga membangkitkan,
memanfaatkan dan memberikan penghargaan pada keduanya sebagai bagian integral dari
proses pembelajaran (Wertsch 1997).
b). Pentingnya latar belakang dan budaya pembelajar
30
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Gredler (1997) juga menekankan pentingnya latar belakang dan budaya
pembelajar. Konstruktivisme sosial membangkitkan keberanian pembelajar untuk sampai
pada kebenaran versi masing-masing, yang dipengaruhi oleh latar belakangnya, budaya
atau lingkungannya. Perkembangan historis atau sistem simbol, seperti bahasa, logika,
dan sistem matematika, merupakan faktor bawaan dari pembelajar sebagai anggota dari
budaya tertentu dan hal ini dipelajari pembelajar di sepanjang hidupnya. Berbagai simbol
tersebut menuntun bagaimana pembelajar belajar dan apa yang dipelajari (Gredler 1997).
Hal ini juga menekankan pentingnya interaksi sosial pembelajar secara alami dengan
anggota masyarakat yang berpengetahuan. Tanpa interaksi sosial dengan anggota
masyarakat yang berpengetahuan, adalah mustahil untuk memperoleh arti sosial dari
sistem simbol yang penting dan belajar bagaimana memanfaatkannya. Anak-anak muda
mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi dengan orang dewasa. Dari
sudut pandang konstruktivisme sosial, menjadi sangat penting mempertimbangkan latar
belakang dan budaya pembelajar sepanjang proses pembelajaran, karena latar belakang
semacam ini juga membantu membentuk pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan,
ditemukan, dan diperoleh selama proses pembelajaran berlangsung (Gredler 1997;
Wertsch 1997).
c). Tanggung jawab belajar
Lebih jauh lagi, ada alasan kuat bahwa tanggung jawab belajar seharusnya
berangsur-angsur diberikan kepada pembelajar. Karenanya kostruktivisme sosial
menekankan pentingnya keterlibatan aktif pembelajar dalam proses belajar, tidak seperti
pandangan dunia pendidikan sebelumnya yang meletakkan tanggung jawab belajar pada
guru untuk mengajar sehingga peran pembelajar pasif, bersifat hanya menerima. Von
Glasersfeld (1989) menekankan agar pembelajar mengkonstruksi pemahamannya sendiri
dan tidak hanya sekedar meniru dan melakukan begitu saja apa yang ia baca. Ketika tiada
informasi yang lengkap, pembelajar mencari kebermaknaan dan memiliki kemauan untuk
mencoba menemukan keteraturan dan pola kejadian-kejadian di dunia nyata.
d). Motivasi belajar
31
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Asumsi penting lain mengenai keadaan alami pembelajar berkenaan dengan
tingkatan dan sumber motivasi belajar. Menurut Von Glasersfeld (1989) motivasi yang
paling cocok untuk belajar secara kuat bergantung pada kepercayaan diri siswa yang ada
dalam potensinya untuk belajar. Perasaan akan adanya kompetensi dan kepercayaan akan
adanya potensi untuk memecahkan masalah baru, hampir seluruhnya diperoleh dari
pengalaman langsungnya (first-hand experience) dalam menuntaskan masalah di masa
lalu dan jauh lebih kuat dari pada motivasi dan pemberitahuan eksternal (Prawat dan
Floden 1994). Hal ini terkait dengan "zone of proximal development" nya Vygotsky
(Vygotsky 1978) yang berpendapat bahwa sebaiknya pembelajar diberi tantangan yang
setingkat, atau sedikit di atas perkembangannya pada saat itu. Berbekal pengalaman
sukses sepenuhnya dalam menuntaskan tugas yang menantang, pembelajar memperoleh
kepercayaan diri dan motivasi untuk menaklukkan tantangan baru yang lebih besar.
2) Peran guru
a). Guru (atau instruktur) sebagai fasilitator
Menurut pendekatan konstruktivis sosial, guru harus menyesuaikan perannya dari
sebagai instruktur ke peran sebagai fasilitator (Steffe dan Gale 1995). Ketika seorang
guru memberikan pembelajaran dalam suatu mata pelajaran, perannnya sebagai fasilitator
membantu pembelajar untuk memperoleh pemahamannya sendiri tentang materi. Selama
proses pembelajaran, dalam skenario pembelajaran tradisional pembelajar berperan pasif,
dalam pembelajaran konstruktivisme sosial pembelajaran berperan aktif. Dengan
demikian, penekanannya berubah dari instruktur dan materi ke pembelajar (Kukla 2000).
Perubahan dramatik dalam hal peran ini membawa konsekuensi pada guru untuk
memiliki seperangkat keterampilan baru dari sebelumnya sebagai suatu keharusan
(Brownstein 2001). Sebagai guru ia memberitahu, sebagai fasilitator ia bertanya; sebagai
guru ia "ing ngarso", sebagai fasilitator ia "tut wuri"; seorang guru memberikan jawaban
sesuai seperangkat kurikulum, seorang fasilitator, seorang fasilitator memberikan garis
besar haluan dan menciptakan lingkungan untuk pembelajar agar bisa menemukan
kesimpulannya sendiri; seorang guru cenderung monolog, seorang fasilitator senantiasa
dialog dengan pembelajar (Rhodes dan Bellamy 1999). Seorang fasilitator seharusnya
juga mampu mengadaptasi pengalaman belajarnya sendiri dalam rangka mengarahkan
32
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
pengalaman belajar itu menuju ke mana pembelajar ingin menciptakan sendiri nilai yang
bermakna.
Lingkungan pembelajar seharusnya juga dirancang untuk mendukung dan
memberikan tantangan pada proses berpikir pembelajar (Di Vesta, 1987). Meskipun
disarankan agar memberikan kepada pembelajar akses untuk menemukan masalahnya
sendiri dan proses pemecahannya, seringkali kegiatan ataupun solusinya tidak memadai.
Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah memberikan pembelajar dukungan untuk menjadi
pemikir efektif. Hal ini bisa dilakukan dengan memainkan peran ganda, yaitu konsultan
dan pelatih.
3) Kondisi alamiah proses pembelajaran
a). Belajar merupakan proses sosial yang aktif
Para pakar konstruktivisme sosial memiliki pandangan belajar sebagai proses
aktif di mana pembelajar seharusnya belajar untuk menemukan sendiri prinsip, konsep,
dan fakta sehingga sebaiknya diberikan teka-teki yang menantang dan cara berpikir
intuitif dari pembelajar (Brown et al.1989; Ackerman 1996; Gredler 1997).
Kenyataannya -bagi konstruktivis sosial- prinsip, konsep dan fakta bukanlah sesuatu yang
kita bisa temukan begitu saja karena sebelumnya tidak ada dan bukan menjadi prioritas
utama bagi masyarakat kita untuk menemukannya. Kukla (2000) berpandangan bahwa
prinsip.konsep dan fakta direkonstruksi oleh aktivitas sendiri dan bahwa manusia, yang
secara bersama-sama menjadi anggota masyarakat menemukannya untuk menjadi
properti dunia nyata mereka.
Pakar konstruktivis lain setuju dengan pendapat di atas namun lebih menekankan
bahwa individual memberikan makna melalui interaksinya dengan orang lain dan dalam
lingkungan tempat ia hidup. Dengan demikian pengetahuan merupakan produk dari
manusia yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Ernest 1991; Gredler 1997; Prawat
dan Floden 1994). McMahon (1997) setuju bahwa belajar merupakan proses sosial. Ia
menambahkan bahwa belajar bukanlah proses yang hanya terjadi di dalam pikiran kita,
juga bukan perkembangan pasif dari perilaku kita yang dibentuk oleh kekuatan dari luar
diri kita; proses belajar yang berarti terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial.
33
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Vygotsky (1978) juga mennyoroti perpaduan dari elemen sosial dan praktikal
dalam pembelajaran dengan mengatakan bahwa peristiwa penting dalam proses
perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara dan aktivitas praktikal, dua jalur
perkembangan yang benar-benar independen satu sama lain, menyatu.
Melalui kegiatan praktikal seorang anak mengkonstruksi arti pada tingkatan
intrapersonal, sedangkan berbicara menghubungkan arti tersebut dengan dunia
interpersonal sebagai wahana ia berbagi dengan budayanya.
b). Interaksi dinamis antara tugas, guru, dan pembelajar
Karakteristik yang lebih jauh dari peran guru sebagai fasilitator dalam sudut
pandang konstruktivisme sosial, adalah bahwa guru dan pembelajar memiliki intensitas
keterlibatan yang sama (Holt dan Willard-Holt 2000). Hal ini berarti bahwa pengalaman
belajar di samping objektif juga subjektif dan membutuhkan kondisi di mana budaya,
nilai, dan latar belakang guru menjadi bagian esensial sebagai penghubung antara
pembelajar dan tugasnya dalam mengkonstruksi makna. Pembelajar membandingkan
kebenaran versinya dengan versi guru dan temannya dalam rangka untuk mendapatkan
kebenaran versi masyarakat yang telah teruji (Kukla 2000). Tugas atau masalahnya
adalah adanya interface (batas) antara guru dan pembelajar (McMahon 1997). Hal ini
akan memunculkan interaksi dinamis antara tugas, guru dan pembelajar. Hal ini
membawa konsekuensi pembelajar dan guru seharusnya mengembangkan suatu
kepedulian terhadap sudut pandang orang lain dan kemudian melihat kembali
kepercayaan, standar dan nilai-nilainya, dengan demikian berperilaku subjektif sekaligus
objektif secara simultan (Savery 1994).
Green dan Gredler (2002) menekankan belajar sebagai suatu proses interaktif,
meliputi proses yang diskursif (rasional), adaptif, interaktif dan reflektif secara
berkualitas. Menurut keduanya fokus utama dari belajar adalah hubungan timbal balik
antara guru-siswa. Beberapa penelitian yang lain, juga memberikan alasan pentingnya
mentoring (belajar dengan mentor, senior yang berpengalaman) di dalam proses belajar
(Archee dan Duin 1995; Brown et al. 1989). Model pembelajaran konstruktivisme sosial
dengan demikian menekankan pentingnya hubungan timbal balik antara siswa dengan
guru selama proses pembelajaran berlangsung.
34
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Beberapa pendekatan belajar yang sesuai untuk belajar interaktif antara lain
pembelajaran reciprocal, kolaborasi kelompok, cognitive apprenticeships, problembased
instruction, web quests, anchored instruction dan pendekatan lain yang melibatkan
belajar dengan orang lain.
4) Kolaborasi di antara pembelajar
Pembelajar dengan kemampuan dan latar belakang seharusnya berkolaborasi
dalam tugas dan diskusi dalam rangka menuju pemahaman bersama tentang kebenaran
suatu bidang tertentu.
Kebanyakan model konstruktivisme, seperti yang dikemukakan oleh Duffy dan
Jonassen (1992), juga menekankan kebutuhan akan kolaborasi antara pembelajar, hal ini
jelas berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih mengedepankan sifat kompetitif.
Salah seorang penganut Vygotski memberikan catatan bahwa begitu berartinya implikasi
dari peer collaboration, sebagai bagian dari the zone of proximal development. Di sini,
zone perkembangan proksimal (terdekat) didefinisikan sebagai jarak antara tingkat
perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah secara
independen dan tingkatan perkembangan potensial seperti yang ditentukan oleh
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan peer lain
yang sudah berpengalaman; batasan ini berbeda dengan keadaan biologis alamiah yang
fix dari tingkatan perkembangannya Piaget. Melalui suatu proses yang disebut
'scaffolding' (dukungan) seorang pembelajar dapat dapat dipacu mencapai tingkatan di
atas keterbatasan kematangan fisik sehingga tidak terjadi proses perkembangan tertinggal
di belakang proses pembelajaran (Vygotsky 1978).
a). Pentingnya konteks
Paradigma konstruktivisme sosial memandang konteks dari terjadinya
pembelajaran sebagai pusat dari pembelajaran itu sendiri (McMahon 1997).
Yang perlu digarisbawahi dari suatu catatan penting bahwa pembelajar
merupakan prosesor aktif adalah "asumsi bahwa tidak ada satu pun bagian dari
seperangkat hukum pembelajaran yang telah digeneralisasi yang dapat diterapkan untuk
semua domain " (Di Vesta 1987:208). Pengetahuan yang tidak dikontekstualkan tidak
35
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
mampu memberikan kita keterampilan untuk menerapkan pengetahuan kita dalam tugastugas
yang autentik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Duffy dan Jonassen (1992),
kita tidak bekerja dengan konsep dalam lingkungan yang kompleks melainkan
pengalaman dari hubungan timbal balik yang kompleks dari lingkungan yang juga
kompleks yang menentukan bagaimana dan kapan suatu konsep digunakan. Salah
seorang konstruktivis memberikan catatan bahwa pembelajaran yang autentik atau sesuai
situasi adalah pembelajaran di mana siswa mengambil bagian dalam kegiatan yang secara
langsung relevan dengan penerapan hasil pembelajaran dan yang terjadi dalam budaya
yang sama dengan setting penerapannya (Brown et al. 1989). Cognitive apprenticeship
(pelatihan kognitif) dianggap sebagai model konstruktivisme yang efektif dalam
pembelajaran di mana model ini mencoba "enkulturasi (pembudayaan) siswa dalam
kegiatan praktis yang autentik melalui kegiatan dan interaksi sosial dalam cara yang
sama dengan pelatihan di bidang keterampilan yang telah terbukti sukses " (Ackerman
1996:25).
Konteks di mana pembelajaran terjadi maupun konteks sosial di mana pembelajar
membawanya ke lingkungan belajar dengan sendirinya menjadi faktor penentu dalam
pembelajaran itu sendiri (Gredler 1997).
b). Asesmen (penilaian)
Holt dan Willard-Holt (2000) menekankan konsep asesmen dinamis, suatu cara
mengases potensi sebenarnya dari pembelajar yang secara signifikan berbeda dengan tes
konvensional. Kondisi belajar alamiah yang esensial diperluas sampai ke proses asesmen.
Bila biasanya asesmen sebagai suatu proses dilakukan oleh seseorang, misalnya guru, di
sini dipandang sebagai suatu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara guru dan
pembelajar. Peranan guru sebagai asesor melakukan dialog dengan siswa yang diases
untuk menemukan tingkatan performansnya dalam melakukan tugas pada saat itu dan
curah pendapat dengannya tentang cara yang mungkin bisa ditempuh dalam memperbaiki
performansnya pada kesempatan berikutnya. Dengan demikian, asesmen dan
pembelajaran dipandang sebagai jalinan proses yang tak terpisahkan (Holt dan Willard-
Holt 2000).
36
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Berdasarkan pandangan ini seorang guru seharusnya memandang asesmen
sebagai proses yang terus menerus dalam mengukur pencapaian pembelajar, kualitas
pengalamannya dalam pembelajaran dan proses pembelajarannya. Asesmen juga
merupakan bagian integral dari pengalaman belajar dan bukan proses yang berdiri sendiri
(Gredler 1997). Umpan balik dari proses asesmen berfungsi sebagai masukan langsung
yang menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya. Asesmen seharusnya tidak menjadi
proses intimidasi yang menyebabkan kecemasan siswa, melainkan proses yang bersifat
mendukung yang membangkitkan keberanian siswa untuk ingin dievaluasi di masa
mendatang, sehingga harus fokus pada perkembangan yang terjadi pada siswa (Green dan
Gredler 2002).
5) Pemilihan, cakupan, dan tata urutan materi
a). Pengetahuan seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan terpadu
Pengetahuan seharusnya tidak dipisahkan ke dalam subjek-subjek yang berbeda
(kompartementalisasi), tetapi seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu.
Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya konteks bagaimana pembelajaran
dilangsungkan. Menurut para tokoh tersebut, pengetahuan seharusnya tidak
dikompartementalisasi secara kaku ke dalam subjek atau kategori berbeda namun
seharusnya disajikan dan ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu. Alasannya adalah
bahwa dunia, tempat yang dibutuhkan oleh pembelajar untuk melakukan kegiatan, tidak
bisa didekati dengan bentuk subjek terpisah, melainkan berupa suatu kompleksitas tak
terhingga dari fakta, problem, dimensi dan persepsi.
b). Keasyikan dan tantangan bagi pembelajar
Pembelajar seharusnya secara konstan diberi tantangan dengan tugas-tugas yang
berhubungan dengan keterampilan dan pengetahuan sedikit di atas tingkat ketuntasannya
pada saat itu. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan membangun lagi keberhasilan
sebagaimana yang telah diraih sebelumnya dalam rangka mempertahankan kepercayaan
diri pembelajar. Hal ini juga sejalan dengan zone of proximal development- nya
Vygotsky yang dapat dideskripsikan sebagai jarak antara perkembangan tingkat
perkembangan aktual (yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara independen)
37
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
dan tingkatan perkembangan potensial (yang ditentukan melalui pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kolaborasi dengan peers yang lebih
berpengalaman).
Vygotsky lebih jauh mempublikasikan secara luas bahwa suatu pembelajaran
dianggap baik ketika pembelajaran tersebut melampaui perkembangan. Kemudian
pembelajaran tersebut membangunkan dan membangkitkan keseluruhan perangkat fungsi
yang berada di tingkat kematangan untuk hidup di kehidupan nyata, yang terletak di zona
perkembangan proksimal. Dengan cara inilah pembelajaran memainkan peranan yang
maha penting dalam perlembangan.
Dalam rangka untuk sepenuhnya memberikan keasyikan dan tantangan bagi
pembelajar, tugas dan lingkungan pembelajaran seharusnya merefleksikan kompleksitas
lingkungan sehingga pembelajar seharusnya memiliki fungsi di akhir pembelajaran.
Pembelajar seharusnya tidak hanya mendapatkan proses pembelajaran ataupun proses
pemecahan masalah, namun juga masalah itu sendiri.
Ketika mempertimbangakan tata urutan materi, sudut pandang konstruktivis
berpendirian bahwa dasar dari berbagai subjek dapat dibelajarkan pada siapa pun pada
tingkatan mana pun dalam banyak bentuk. Hal ini berarti bahwa guru seharusnya pertama
sekali memperkenalkan gagasan dasar sehingga menghidupkan dan membentuk banyak
topik ataupun area subjek, baru kemudian kembali lagi pada subjek semula dan
membangun kembali gagasan tersebut. Prinsip seperti ini secara ekstensif digunakan
dalam kurikulum.
Juga penting bagi guru untuk relistis, karena meskipun suatu kurikulum
kemungkinan dirancang untuk mereka, tak terhidarkan lagi untuk dibentuk ulang oleh
mereka menjadi lebih personal yang merefleksikan sistem kepercayaan mereka sendiri,
pemikiran dan perasaan mereka terhadap isi pembelajaran maupun pembelajarnya.
Dengan demikian, pengalaman belajar menjadi suatu kegiatan yang harus dilakukan
bersama. Dengan demikian, emosi dan konteks kehidupan dari yang terlibat dalam
kegiatan pembelajaran harus dianggap sebagai bagian integral dari pembelajaran. Tujuan
dari pembelajar menjadi fokus dalam mempertimbangkan tentang apa yang dipelajari.
c). Penstrukturan proses belajar
38
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Adalah penting untuk mendapatkan keseimbangan yang benar antara tingkatan
struktur dan fleksibilitas yang dibangun dalam proses pembelajaran. Savery menyatakan
bahwa semakin lebih terstruktur lingkungan pembelajaran, semakin sulit bagi pembelajar
dalam mengkonstruksi arti berdasarkan pemahaman konseptual mereka sendiri. Seorang
guru seharusnya menyusun struktur pengalaman belajar sekedar cukup untuk membuat
yakin bahwa siswa mendapat arahan yang jelas dan parameter untuk mencapai tujuan
pembelajaran, namun pengalaman belajar seharusnya terbuka dan memberikan peluang
yang cukup bagi pembelajar untuk menemukan, menikmati, berinteraksi dan sampai pada
kebenarannya sendiri yang telah diverifikasi oleh masyarakat.
d). Catatan akhir
Intervensi konstruktivisme dalam pembelajaran dengan demikian merupakan
intervensi di mana kegiatan kontekstual (tugas-tugas) digunakan untuk menyediakan
pembelajar peluang untuk menemukan dan secara kolabortif mengkonstruksi arti
sebagaimana yang diungkap dalam intervensi. Pembelajar dihormati sebagai individual
yang unik, dan guru lebih cenderung berperan sebagai fasilitator daripada instruktur.
4. Paedagogi berdasarkan konstruktivisme
Kenyataannya, banyak pedagogi yang bergerak di sekitar teori konstruktivisme.
Kebanyakan pendekatan yang berkembang dari konstruktivisme menyarankan bahwa
belajar yang sempurna menggunakan pendekatan hands-on (keterlibatan personal).
Pembelajar belajar melalui eksperimentasi, dan tidak melalui cara pemberitahuan apa
yang akan terjadi. Mereka dibiarkan memiliki pendapat sendiri, penemuan, dan
kesimpulan. Konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran bukanlah suatu
proses "seluruhnya atau tidak sama sekali" melainkan bahwa siswa belajar informasi baru
yang disajikan untuk mereka dengan membangun pengetahuan yang telah mereka miliki.
Karenanya menjadi penting guru secara konstan mengases pengetahuan yang telah
dicapai siswanya untuk meyakinkan bahwa persepsi siswa terhadap pengetahuan baru
sama dengan apa yang dimaksudkan guru. Guru akan menemukan bahwa karena siswa
membangun pengetahuan yang telah dimiliki, ketika diminta untuk memahami informasi
baru, mereka tidak membuat kesalahan. Bisa disebut terjadi kesalahan rekonstruksi
39
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
apabila kita mengisi kesenjangan antara pemahaman kita dengan pemikiran yang logis
namun tidak benar. Guru harus mampu mengidentifikasi dan mencoba membetulkan
kesalahan tersebut, meskipun tak pelak lagi bahwa beberapa kesalahan rekonstruksi akan
terus terjadi karena faktor bawaan berupa keterbatasan pemahan kita.
Pada kebanyakan pedagogi yang berdasarkan konstruktivisme, peran guru bukan
hanya mengamati dan mengases namun juga terlibat dalam kegiatan siswa sementara ia
juga harus menyelesaikan kegiatannya sendiri, meneriakkan keheranan dan mengajukan
pertanyaan kepada siswa untuk menggalakkan cara berpikir logis. (contoh: Saya heran
mengapa air tidak meluap keluar melalui bibir gelas yang penuh?) Guru juga melakukan
intervensi ketika muncul konflik; namun mereka secara sederhana memfasilitasi resolusi
di antara siswa dan regulasi diri, dengan suatu penekanan pada siswa untuk harus
mampu menemukan jalan keluarnya sendiri. Sebagai contoh, promosi literasi dapat
dilakukan dengan mengintegrasikan kebutuhan untuk membaca dan menulis selama
aktivitas individual dalam kelas yang penuh tulisan kreatif. Seorang guru, setelah
membaca suatu cerita, membangkitkan keberanian siswa untuk menulis dan menulis
ceritanya sendiri, atau meminta siswa untuk melakonkan ulang suatu cerita yang telah
mereka kenal dengan baik, kedua kegiatan tersebut membangkitkan keberanian siswa
untuk membayangkan diri mereka sendiri sebagai pembaca ataupun penulis.
Beberapa pendekatan khusus dalam dunia pendidikan yang didasarkan atas
konstruktivisme:
Konstruktionisme: Merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
dikembangkan oleh Seymour Papert dan koleganya di MIT di Cambridge, Massachusetts.
Papert pernah bekerjasama dengan Piaget institut tersebut di Jenewa. Papert belakangan
menyebut pendekatannya "constructionism." Pendekatan ini menckup segala sesuatu
yang berhubungan dengan konstruktivismenya Piage, namun bergerak lebih jauh lagi
dengan menyertakan bahwa pembelajaran konstruktivisme terjadi dengan baik khususnya
ketika siswa mengkonstruksi suatu produk, sesuatu yang eksternal bagi mereka seperti
benteng pasir, mesin, program komputer, atau buku. Promotor penggunaan komputer
dalam pendidikan memandang suatu kebutuhan yang semakin meningkat
untukmengembangkan keterampilan dalam literasi Multimedia dalam rangka
mengguanakan peralatan ini dalam pembelajaran konstruktivisme.
40
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Pendekatan lainnya: Reciprocal Learning, Procedural Facilitations for Writing,
Cognitive Tutors, Cognitively Guided Instruction (suatu program pengembangan profesi
dan riset dalam matematika untuk SD yang diciptakan oleh Thomas P. Carpenter,
Elizabeth Fennema, dan koleganya di University of Wisconsin-Madison. Premis
mayornya adalah guru dapat menggunakan strategi informal siswa (dengan kata lain
strategi yang dikontruksi oleh siswa berdasarkan pemahamannya pada situasi
kehiduopan sehari-hari, seperti memungut batu kecil dan memetik bunga) sebagai basis
utama untuk mengajar matematika di jenjang SD); Anchored Instruction (Bransford et
al), Problem dan pendekatan pemecahan solusinya ditanamkan dalam lingkungan
naratif), Cognitive Apprenticeship (Collins et al), pembelajaran diperoleh melalui
pengintegrasian ke dalam budaya pengetahuan khusus yang implisit dan eksplisit);
Cognitive Flexibility (Sprio et al) dan Pragmatic Constructivism.
F. TEORI BELAJAR SOSIAL
Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas fokus
tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan
sosial.. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari
karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vygotsky. Istilah Konstruktivisme komunal
dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001. Dalam model ini, "siswa tidak hanya
mengikuti pembelajaran seperti halnya air mengalir melalui saringan namun membiarkan
mereka membentuk dirinya." Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar
Sosial dari para pakar pendidikan.
Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui
pengamatannya terhadap perilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset
teori belajar sosial adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner.
Meskipun classical dan operant conditioning dalam hal-hal tertentu masih
merupakan tipe penting dari belajar, namun orang belajar tentang sebagian besar apa
yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan berbeda
dari classical dan operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal
langsung dengan stimuli, penguatan kembali, maupun hukuman. Belajar melalui
41
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut
model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.
Baik anak-anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan
imitasi (peniruan) ini. Anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan,
ketakutan, dan banyak perilaku lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang
lebih dewasa. Banyak orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan
mengamati dan kemudian menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat
kelahiran Kanada Albert Bandura, pelopor dalam studi tentang belajar melalui
pengamatan, tipe belajar ini memainkan peran yang penting dalam perkembangan
kepribadian anak. Bandura menemukan bukti bahwa belajar sifat-sifat seperti
keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan, dan ketidak sabaran sebagian
dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-temannya.
Psikolog pada suatu saat pernah berpikir bahwa hanya manusia yang dapat belajar
melalui pengamatan. Mereka sekarang memahami bahwa banyak jenis binatang—
termasuk burung, kucing, anjing, binatang pengerat, dan primata—dapat belajar melalui
pengamatan terhadap anggota lain dari spesies yang sama. Binatang yang kecil dapat
belajar tentang sesuatu yang bisa dimakan, ketakutan, dan keterampilan untuk bertahan
hidup melalui pengamatannya terhadap induknya atau bapaknya. Hewan yang sudah
dewasa dapat belajar perilaku baru atau solusi dari masalah sederhana melalui
pengamatannya terhadap hewan lain
1. Eksperimen Bandura
Di awal tahun 1960-an Bandura dan peneliti lain melakukan seperangkat
eksperimen klasik yang mendemonstrasikan kekuatan dari belajar melalui pengamatan.
Dalam salah satu percobaannya, seorang anak prasekolah sedang mengerjakan tugas
melukis sementara di depannya sebuah pesawat televisi menayangkan film tentang
seorang dewasa dengan agresif sedang mendekati boneka bobo (boneka berupa badut
yang dapat tegak setelah dipukul roboh). Orang tersebut memukuli bobo bertubi-tubi
dengan semacam palu, menendangnya, melemparkannya ke udara, mendudukinya,
menggigitnya di bagian wajahnya, sambil meneriakkan kata-kata seperti 'tonjok
hidungnya … ayo tendang … des!' Anak tersebut kemudian beranjak ke ruangan lain
42
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
yang penuh boneka termasuk bobo. Eksperimenter mengamati anak tersebut melalui kaca
satu arah. Dibandingkan anak-anak yang menyaksikan model orang dewasa yang tidak
agresif dan yang sama sekali tidak melihat tayangan, anak-anak yang melihat tayangan
perilaku agresif tersebut menunjukkan perilaku yang jauh lebih agresif terhadap boneka
bobo, dan mereka seringkali menirukan secara persis perilaku model dan kata-kata
permusuhannya.
Di dalam varian eksperimen orisinilnya, Bandura dan koleganya meneliti
penerapan efek lanjutan dari pengamatan pada kegiatan belajar. Mereka memperlihatkan
pada anak-anak berusia empat tahun secara terpisah masing-masing satu dari tiga film
tentang perilaku ‘kejam’ seorang dewasa terhadap boneka bobo tersebut. Dalam salah
satu versi film, orang dewasa tersebut diberi penghargaan karena perilaku yang agresif
berupa minuman dan permen. Di versi lain, orang dewasa tersebut balik dipukul, dijitak,
dan diperingatkan agar tidak melakukan hal itu lagi. Di versi ketiga, orang dewasa
tersebut tidak diberi hadiah maupun hukuman. Setelah menyaksikan film, setiap anak
ditinggalkan sendirian di dalam ruangan yang berisi boneka bobo dan mainan lain.
Banyak anak meniru perilaku kejam dari orang dewasa tersebut, namun anak-anak yang
menyaksikan orang dewasa modelnya dihukum setelah menyiksa bobo lebih jarang yang
menirukan. Namun, ketika peneliti menjanjikan hadiah kepada semua anak untuk
menirukan, ketiga kelompok memperlihatkan kuantitas perilaku yang sama terhadap
boneka bobo.
Bandura menyimpulkan bahwa meskipun anak-anak tidak melihat orang dewasa
di dalam tayangan tidak mendapat hadiah telah belajar melalui pengamatan, namun anakanak
ini (khususnya yang melihat modelnya dihukum) tidak melakukan apa yang mereka
pelajari sampai mereka bisa berharap mendapatkan hadiah bila melakukannya. Istilah
belajar latent (latent learning) digunakan dalam kasus di mana individu belajar perilaku
yang baru namun tidak melakukan perilaku tersebut sampai ia melihat kemungkinan
untuk mendapatkan hadiah.
2. Teori Imitasi Bandura
Menurut teori imitasi Bandura yang sangat berpengaruh, yang juga disebut teori
belajar sosial, empat faktor dibutuhkan oleh seseorang untuk belajar melalui pengamatan
43
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
dan kemudian menirunya: attention (memperhatikan), retention (mengingat),
reproduction (mereproduksi), dan motivation (dorongan). Pertama, pembelajar harus
menaruh perhatian pada detail-detail yang penting dari perilaku model. Seorang wanita
muda, melihat ayahnya memanggang roti tidak akan berhasil menirukan perilaku
ayahnya tersebut bila tidak menaruh perhatian pada beberapa detail penting—bumbu,
kuantitas, temperatur oven, durasi waktu memanggang, dan sebagainya. Faktor kedua
adalah retention—pembelajar harus dapat mengingat atau menyimpan semua informasi
dalam memorinya sampai informasi itu berguna kelak. Jika seseorang lupa beberapa
detail penting, ia akan tidak dapat berhasil meniru suatu perilaku. Ketiga, pembelajar
harus memiliki keterampilan dan koordinasi fisik yang dibutuhkan dalam reproduction
mereproduksi perilaku tersebut. Wanita muda tersebut harus memiliki kekuatan dan
kecekatan untuk mencampur bumbu, menuangkan mentega, dan sebagainya, dalam
rangka memanggang roti sendiri. Akhirnya, pembelajar harus memiliki motivasi
(dorongan) untuk menirukan model. Dalam hal ini, pembelajar memiliki kecenderungan
untuk menirukan suatu perilaku jika mereka mengharapkan perilaku tersebut mengarah
pada suatu tipe hadiah atau penguatan. Jika pembelajar memandang bahwa menirukan
perilaku tidak akan mengarah pada hadiah atau justru mengarah ke hukuman, mereka
cenderung tidak menirukan perilaku tersebut.
3. Teori Generalisasi Imitasi
Suatu alternatif dari teori Bandura adalah teori generalisasi imitasi. Teori ini
menyatakan bahwa orang akan meniru perilaku orang lain jika situasinya sama dengan
ketika peristiwa yang ditirunya diperkuat di masa lalu. Sebagai contoh, ketika seorang
anak muda meniru perilaku orang tuanya atau saudara tuanya, imitasi ini sering diperkuat
dengan senyuman, pujian, atau bentuk-bentuk persetujuan lain. Demikian juga, ketika
anak-anak menirukan perilaku teman-temannya, bintang olah raga, atau selebritis,
peniruan ini akan diperkuat—dengan persetujuan teman sebayanya, jika tidak orang
tuanya. Melalui proses generalisasi, anak tersebut akan memulai meniru model-model
tersebut pada kesempatan yang lain. Bila teori Bandura menekankan proses berpikir dan
44
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
motivasi peniru, teori generalisasi imitasi berpijak pada dua prinsip dasar dari operant
conditioning—penguatan dan generalisasi.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi imitasi
Banyak faktor yang mempengaruhi apakah seseorang akan meniru suatu model
atau tidak. Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, anak-anak lebih cenderung meniru
model apabila perilaku model telah mendapatkan penguatan dibandingkan dengan
hukuman. Namun yang lebih penting adalah konsekuensi yang diharapkan dari
pembelajar. Seseorang akan meniru perilaku yang mendapat hukuman apabila ia berpikir
bahwa imitasi tersebut akan akan menghasilkan beberapa tipe penguatan yang lain.
Karakteristik model juga mempengaruhi karakteristik imitasi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa anak-anak lebih cenderung meniru orang dewasa yang lebih mampu
membuat ia senang dan lebih menarik perhatiannya dibandingkan dengan orang lain.
Juga, anak-anak lebih sering meniru orang dewasa yang memiliki pengaruh penting
dalam hidupnya seperti orangtuanya atau gurunya, dan orang-orang yang sukses atau
dikaguminya seperti atlet atau selebriti. Baik orang dewasa maupun anak-anak lebih
cenderung meniru model yang memiliki kemiripan usia, jenis kelamin, dan latar
belakang. Karena alasan inilah, ketika terapis perilaku menggunakan model untuk
mengajar perilaku atau keterampilan baru, mereka mencoba menggunakan model yang
sama dengan pembelajar.
G. DAMPAK TEORI BELAJAR PADA PENDIDIKAN
1. Behaviorisme
This theory is relatively simple to understand because it relies only on observable
behavior and describes several universal laws of behavior. Its positive and negative
reinforcement techniques can be very effective--both in animals, and in treatments for
human disorders such as autism and antisocial behavior. Behaviorism often is used by
teachers, who reward or punish student behaviors.
2. Kognitivisme
When educators take neuroscience into account, they organize a curriculum around real
experiences and integrated, "whole" ideas. Plus, they focus on instruction that promotes
45
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
complex thinking and the "growth" of the brain. Neuroscience proponents advocate
continued learning and intellectual development throughout adulthood.
3. Humanisme
4. Konstruktivisme
Curriculum--Constructivism calls for the elimination of a standardized curriculum.
Instead, it promotes using curricula customized to the students' prior knowledge. Also, it
emphasizes hands-on problem solving.
Instruction--Under the theory of constructivism, educators focus on making connections
between facts and fostering new understanding in students. Instructors tailor their
teaching strategies to student responses and encourage students to analyze, interpret, and
predict information. Teachers also rely heavily on open-ended questions and promote
extensive dialogue among students.
Assessment--Constructivism calls for the elimination of grades and standardized testing.
Instead, assessment becomes part of the learning process so that students play a larger
role in judging their own progress.
5. Sosial
Curriculum-- Students must get a chance to observe and model the behavior that leads to
a positive reinforcement.
Instruction-- Educators must encourage collaborative learning, since much of learning
happens within important social and environmental contexts.
Assessment--A learned behavior often cannot be performed unless there is the right
environment for it. Educators must provide the incentive and the supportive environment
for the behavior to happen. Otherwise, assessment may not be accurate.
46
Teori Belajar/SW Widodo
DAFTAR PUSTAKA
Kassin, Saul. 2006. Psychology. Encarta 2007. (DVD-ROM: Microsoft® Student 2007.
Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006).
Mazur, James E. 2006. Learning. Encarta 2007. (DVD-ROM: Microsoft® Student 2007.
Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006).
Wikipedia. 2007. Cognitivism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Cognitivism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2007. Constructivism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Constructivism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2007. Learning Theories. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/Learning_
Theories.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Behaviorism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Behaviorism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Jerome Bruner. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Jerome
Bruner.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Albert Bandura. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Albert
Bandura.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. B F Skinner. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
B_F_Skinner.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Edward Thorndike. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Edward
Thorndike.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Jean Piaget. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Jean Piaget.html.
diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Lev Vygotsky. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Lev
Vygotsky.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Noam Chomsky. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Noam
Chomsky.html. diakses 6 Februari 2007).
47
Teori Belajar/SW Widodo
Wikipedia. 2006. Robert M Gagné. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Robert_M_Gagné.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Behaviorism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Behaviorism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Learning Theories. (Online).
(http: //www.funderstanding.com/learning_theories.cfm. diakses 6 Februari
2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
http: //en.wikipedia.org/wiki/Cognitivism_(psychology) 060207
http: //en.wikipedia.org/wiki/Scientific_method
http: //web.syr.edu/~walker/SOCIALLEARNINGTHEORIES.htm 060207
http: //web.syr.edu/~walker/BEHAVIORISTTHEORIES.htm 060207
http: //en.wikipedia.org/wiki/Zone_of_proximal_development
http: //web.syr.edu/~walker/CONSTRUCTIVISTTHEORY.htm
http: //web.syr.edu/~walker/INTRODUCTION.htm
http: //web.syr.edu/~walker/REFLECTION.htm
http: //edweb.sdsu.edu/courses/edtec540/Perspectives/Perspectives.html
http: //edweb.sdsu.edu/courses/edtec540/Perspectives/instruction.html
http: //www.wsu.edu/~dee/REN/HUMANISM.HTM
http: //education.indiana.edu/~socialst/
48Fajar S / mahasiswa pgsd uns
TEORI BELAJAR
oleh : Fajar S
A. PENDAHULUAN
Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia
belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari
belajar. Ada tiga perspektif utama dalam teori belajar, yaitu Behaviorisme, Kognitivisme,
dan Konstruktivisme. Pada dasarnya teori pertama dilengkapi oleh teori kedua dan
seterusnya, sehingga ada varian, gagasan utama, ataupun tokoh yang tidak dapat
dimasukkan dengan jelas termasuk yang mana, atau bahkan menjadi teori tersendiri.
Namun hal ini tidak perlu kita perdebatkan. Yang lebih penting untuk kita pahami adalah
teori mana yang baik untuk diterapkan pada kawasan tertentu, dan teori mana yang sesuai
untuk kawasan lainnya. Pemahaman semacam ini penting untuk dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran.
B. BEHAVIORISME
Behaviorisme dari kata behave yang berarti berperilaku dan isme berarti aliran.
Behavorisme merupakan pendekatan dalam psikologi yang didasarkan atas proposisi
(gagasan awal) bahwa perilaku dapat dipelajari dan dijelaskan secara ilmiah. Dalam
melakukan penelitian, behavioris tidak mempelajari keadaan mental.
Jadi, karakteristik esensial dari pendekatan behaviorisme terhadap belajar adalah
pemahaman terhadap kejadian-kejadian di lingkungan untuk memprediksi perilaku
seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun kejadian internal lain dalam diri orang
tersebut. Fokus behaviorisme adalah respons terhadap berbagai tipe stimulus.
Para tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada aliran ini adalah Ivan Pavlov
dengan teorinya yang disebut classical conditioning, John B. Watson yang dijuluki
behavioris S-R (Stimulus-Respons), Edward Thorndike (dengan teorinya Law of Efect),
dan B.F. Skinner dengan teorinya yang disebut operant conditioning.
1
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
1. Teori Pengkondisian Klasik Ivan Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov adalah orang Rusia. Ia menemukan Classical Conditioning
di dekade 1890-an. Namun karena pada saat itu negerinya tertutup dari dunia barat,
bukunya dalam edisi bahasa Inggris Conditioned Reflexes: An Investigation of the
Physiological Activity of the Cerebral Cortex baru bisa diterbitkan tahun 1927. Teorinya
disebut klasik karena kemudian muncul teori conditioning yang lebih baru. Ada pula
yang menyebut teorinya sebagai learned reflexes atau refleks karena latihan, untuk
membedakan teorinya dengan teori pengkondisian disadari-nya Skinner.
a. Percobaan Pavlov
Pengkondisian Klasik atau Classical conditioning ditemukan secara kebetulan
oleh Pavlov di dekade 1890-an. Saat itu Pavlov sedang mempelajari bagaimana air liur
membantu proses pencernaan makanan. Kegiatannya antara lain memberi makan anjing
eksperimen dan mengukur volume produksi air liur anjing tersebut di waktu makan.
Setelah anjing tersebut melalui prosedur yang sama beberapa kali, ternyata mulai
mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa
beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh
anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan
seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur
ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian
(makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian
(mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti
membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut. Bunyi
lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing
tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi
lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing
tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi
lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian, dan
keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian.
2
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
b. Prinsip-prinsip Pengkondisian Klasik Pavlov
Menindaklanjuti temuannya sebelumnya, Pavlov dan koleganya berhasil
mengidentifikasi empat proses: acquisition (akuisisi/fase dengan pengkondisian),
extinction (eliminasi/fase tanpa pengkondisian), generalization (generalisasi), dan
discrimination (diskriminasi).
1) Fase Akuisisi
Fase akuisisi merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi—sebagai
contoh, anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor
yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat
ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan
selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons
yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus
kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama—sebagai
contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi—conditioning jarang
terjadi.
2) Fase Eliminasi
Sekali telah dipelajari, suatu respons dengan kondisi tidaklah diperlukan secara
permanen. Istilah extinction (eliminasi) digunakan untuk menjelaskan eliminasi respons
kondisi dengan mengulang-ulang stimulus kondisi tanpa stimulus utama. Jika seekor
anjing telah ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena adanya suara lonceng, peneliti dapat
secara berangsur-angsur menghilangkan stimulus utama dengan mengulang-ulang bunyi
lonceng tanpa memberikan makanan sesudahnya.
3) Generalisasi
Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu stimulus, ada
kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan. Jika seorang
anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya takut kepada
3
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena ini disebut
generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi yang kurang
intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang terhadap anjing
yang lebih kecil.
4) Diskriminasi
Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi, yaitu ketika seorang individu
belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus namun tidak dari stimulus yang
sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak memperlihatkan respons
takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin memperlihatkan rasa tidak takut
ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam kandang.
2. Teori Stimulus-Respons John Watson
Pada tahun 1919, pakar psikologi berkebangsaan AS, J.B. Watson dalam bukunya
Psychology from the Standpoint of a Behaviorist mengkritisi metode introspektif dalam
pakar psikologi yaitu metode yang hanya memusatkan perhatian pada perilaku yang ada
atau berasal dari nilai-nilai dalam diri pakar psikologi itu sendiri.
Watson berprinsip hanya menggunakan eksperimen sebagai metode untuk
mempelajari kesadaran. Watson mempelajari penyesuaian organisme terhadap
lingkungannya, khususnya stimuli khusus yang menyebabkan organisme tersebut
memberikan respons. Kebanyakan dari karya-karya Watson adalah komparatif yaitu
membandingkan perilaku berbagai binatang. Karya-karyanya sangat dipengaruhi karya
Ivan Pavlov. Namun pendekatan Watson lebih menekankan pada peran stimuli dalam
menghasilkan respons karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau
seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah, Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S - R
(stimulus-response).
a. Percobaan John Watson
Pada dasarnya Watson melanjutkan penelitian Pavlov. Dalam percobaannya,
Watson ingin menerapkan classical conditioning pada reaksi emosional. Hal ini didasari
4
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
atas keyakinannya bahwa personalitas seseorang berkembang melalui pengkondisian
berbagai refleks.
Dalam suatu percobaan yang kontroversial di tahun 1921, Watson dan asisten
risetnya Rosalie Rayner melakukan eksperimen terhadap seorang balita bernama Albert.
Pada awal eksperimen, balita tersebut tidak takut terhadap tikus. Ketika balita memegang
tikus, Watson mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita menjadi takut
dengan suara yang tiba-tiba dan keras sekaligus takut terhadap tikus. Akhirnya, tanpa ada
suara keras sekalipun, balita menjadi takut terhadap tikus.
b. Kesimpulan Watson.
Meskipun eksperimen Watson dan rekannya secara etika dipertanyakan, hasilnya
menunjukkan untuk pertamakalinya bahwa manusia dapat ‘belajar’ takut terhadap stimuli
yang sesungguhnya tidak menakutkan. Namun ketika stimuli tersebut berasosiasi dengan
pengalaman yang tidak menyenangkan, ternyata menjadi menakutkan. Eksperimen
tersebut juga menunjukkan bahwa classical conditioning mengakibatkan beberapa kasus
fobia (rasa takut), yaitu ketakutan yang yang tidak rasional dan berlebihan terhadap
objek-objek tertentu atau situasi-situasi tertentu. Pakar psikologi sekarang dapat
memahami bahwa classical conditioning dapat menjelaskan beberapa respons emosional
—seperti kebahagiaan, kesukaan, kemarahan, dan kecemasan—yaitu karena orang
tersebut mengalami stimuli khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang memiliki
pengalaman menyenangkan dengan roller coaster kemungkinan belajar merasakan
kesenangan justru karena melihat bentuk roller coaster tersebut. Bagi seorang dewasa
yang menemukan sepucuk surat dari teman dekat di dalam kotak surat, hanya dengan
melihat alamat pengirim yang tertera di sampul surat kemungkinan menimbulkan
perasaan senang dan hangatnya persahabatan.
Pakar psikologi menggunakan prosedur classical conditioning untuk merawat
fobia (rasa takut) dan perilaku yang tidak diinginkan lainnya seperti kecanduan alkohol
dan psikotropika. Untuk merawat fobia terhadap objek-objek tertentu, pakar psikologi
melakukan terapi dengan menghadirkan objek yang ditakuti oleh penderita secara
berangsur-angsur dan berulang-ulang ketika penderita dalam suasana santai. Melalui fase
eliminasi (eliminasi stimulus kondisi), penderita akan kehilangan rasa takutnya terhadap
5
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
objek tersebut. Dalam memberikan perawatan untuk pecandu alkohol, penderita
meminum minuman beralkohol dan kemudian menenggak minuman keras tersebut
sehingga menyebabkan rasa sakit di lambung. Akhirnya ia merasakan sakit lambung
begitu melihat atau mencium bau alkohol dan berhenti meminumnya. Keefektivan dari
terapi seperti ini sangat bervariasi bergantung individunya dan problematika yang
dihadapinya.
3. Hukum Efek dan Teori Koneksionisme Edward Thorndike
Edward Lee Thorndike adalah pakar psikologi yang menjadi dosen di Columbia
University AS. Dalam bukunya Animal Intelligence (1911) ia menyatakan tidak suka
pada pendapat bahwa hewan memecahkan masalah dengan nalurinya. Ia justru
berpendapat bahwa hewan juga memliki kecerdasan. Beberapa eksperimennya ditujukan
untuk mendukung gagasannya tersebut, yang kemudian ternyata merupakan awal
munculnya operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
Prinsip yang dikembangkannya disebut hukum efek karena adanya konsekuensi
atau efek dari suatu perilaku. Sementara, teorinya disebut koneksionisme untuk
menunjukkan adanya koneksi (keterkaitan) antara stimuli tertentu dan perilaku yang
disadari.
a. Pecobaan Thorndike
Subjek riset Thorndike termasuk kucing, anjing, ikan, kera, dan anak ayam. Untuk
melihat bagaimana hewan belajar perilaku yang baru, Thorndike menggunakan ruangan
kecil yang ia sebut puzzle box (kotak teka-teki), dan jika hewan itu melakukan respons
yang benar (seperti menarik tali, mendorong tuas, atau mendaki tangga), pintu akan
terbuka dan hewan tersebut akan diberi hadiah makanan yang diletakkan tepat di luar
kotak.
Ketika pertama kali hewan memasuki kotak teka-teki, memerlukan waktu lama
untuk dapat memberi respons yang dibutuhkan agar pintu terbuka. Namun demikian,
pada akhirnya hewan tersebut dapat melakukan respons yang benar dan menerima
hadiahnya: lolos dan makanan.
6
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Ketika Thorndike memasukkan hewan yang sama ke kotak teka-teki secara
berulang-ulang, hewan tersebut akan melakukan respons yang benar semakin cepat.
Dalam waktu singkat, hewan-hewan tersebut hanya membutuhkan waktu beberapa detik
untuk lolos dan mendapatkan hadiah.
b. Kesimpulan Thorndike
Thorndike menggunakan 'kurva waktu belajar' tersebut untuk membuktikan
bahwa hewan tersebut bukan menggunakan nalurinya untuk dapat lolos dan mendapatkan
hadiah dari kotak, namun melalui proses trial and error (mencoba-salah-mencoba lagi
sampai benar).
Thorndike menjelaskan ada perbedaan yang jelas apakah hewan dalam
eksperimen tersebut agar dapat lolos dari kotak menggunakan naluri atau tidak. Caranya
yaitu dengan mencatat waktu yang digunakan hewan untuk dapat lolos. Logikanya, jika
hewan menggunakan naluri maka ia akan dapat langsung lolos begitu saja, sehingga
catatan waktunya tidak menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu secara gradual yang
signifikan. Kenyataannya, hewan menggunakan cara yang biasa disebut trial and error
dengan bukti kurva waktu yang menurun secara gradual. Hal ini menunjukkan hewan
dapat 'belajar' secara gradual dan konsisten.
Didasarkan atas eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut
hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang
menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya,
perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga
cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Thorndike menginterpretasikan temuannya sebagai keterkaiatan. Ia menjelaskan
bahwa keterkaitan antara kotak dan gerakan yang digunakan hewan percobaan untuk
lolos 'diperkuat' setiap kali berhasil. Karena adanya keterkaitan ini, banyak yang
menyebut hukum efek Thorndike menjadi teori koneksionisme, yang oleh Skinner
dikembangkan lagi menjadi operant conditioning (pengkondisian yang disadari).
4. Pengkondisian Disadari B.F. Skinner
7
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Burrhus Frederic "B. F." Skinner adalah pakar psikologi yang lahir di pedesaan.
Bercita-cita menjadi seorang penulis fiksi, ia pernah secara intensif berlatih menulis.
Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tidak memiliki bakat tersebut. Pada
suatu saat secara kebetulan ia membaca buku yang mengulas tentang behaviorismenya
Watson. Ketertarikannya terhadap Psikologi pun berlanjut, sehingga ia memutuskan
untuk belajar Psikologi di Harvard University (AS) dan memperoleh gelar Ph.D. pada
tahun 1931. Setelah dua kali pindah mengajar di dua universitas, Ia kembali mengajar di
almamaternya hingga menjadi profesor di tahun 1948.
Skinner menjadi terkenal karena kepeloporannya melakukan riset terhadap belajar
dan perilaku. Selama 60 tahun karirnya, Skinner menemukan berbagai prinsip penting
dari operant conditioning, suatu tipe belajar yang melibatkan penguatan dan hukuman.
Sebagai seorang behavioris sejati, Skinner yakin bahwa operant conditioning dapat
menjelaskan bahkan perilaku manusia yang paling kompleks sekalipun. Pada
kenyataannya, Skinner lah memang yang pertama kali memberi istilah operant
conditioning.
Terkenalnya Skinner bukan hanya risetnya dengan binatang, tetapi juga
pengakuan kontroversialnya bahwa prinsip-prinsip belajar yang ia temukan dengan
menggunakan kotaknya juga dapat diterapkan untuk perilaku manusia dalam
kehidupannya sehari-hari.
a. Percobaan Skinner
Diawali di tahun 1930-an, Skinner menghabiskan waktu beberapa dasa warsa
mempelajari perilaku—kebanyakan tikus atau merpati—di dalam ruangan kecil yang
kemudian disebut kotak Skinner. Seperti kotak teka-teki Thorndike, kotak Skinner
berupa ruangan kosong tempat hewan dapat memperoleh makanan dengan melakukan
respons sederhana, seperti menekan atau memutar tuas. Sebuah alat yang diletakkan di
dalam kotak merekam semua yang dilakukan hewan tersebut. Kotak Skinner berbeda
dengan kotak teka-teki Thorndike dalam tiga hal: (1) dalam mengerjakan respons yang
diinginkan, hewan tersebut menerima makanan namun tidak keluar dari kotak; (2)
persediaan makanan di dalam kotak hanya cukup untuk setiap respons, sehingga penguat
hanya diberikan untuk satu sesi tes; dan (3) operant response (respons yang disadari)
8
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
membutuhkan upaya yang ringan, sehingga seekor hewan dapat melakukan respons
ratusan bahkan ribuan kali per jamnya. Karena tiga perbedaan ini, Skinner dapat
mengumpulkan lebih banyak data, dan ia dapat mengamati bagaimana perubahan pola
pemberian makanan mempengaruhi kecepatan dan pola perilaku hewan.
b. Prinsip-prinsip Operant Conditioning
Selama lebih 60 tahun dari karirnya, Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip
mendasar dari operant conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar
perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalah
reinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping (pembentukan),
extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dan generalization (generalisasi).
1) Penguatan
Reinforcement (penguatan) berarti proses yang memperkuat perilaku—yaitu,
memperbesar kesempatan supaya perilaku tersebut terjadi lagi. Ada dua kategori umum
reinforcement, yaitu positif dan negatif. Eksperimen Thorndike dan Skinner
menggambarkan reinforcement positif, suatu metode memperkuat perilaku dengan
menyertaikan stimulus yang menyenangkan. Reinforcement positif merupakan metode
yang efektif dalam mengendalikan perilaku baik hewan maupun manusia. Untuk
manusia, penguat positif meliputi item-item mendasar seperti makanan, minuman, seks,
dan kenyamanan yang bersifat fisikal. Penguat positif lain meliputi kepemilikan materi,
uang, persahabatan, cinta, pujian, penghargaan, perhatian, dan sukses karir seseorang.
Bergantung pada situasi dan kondisi, penguatan positif dapat memperkuat
perilaku baik yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan. Anak-anak kemungkinan
mau bekerja keras di rumah maupun di sekolah karena penghargaan yang mereka terima
dari orang tua maupun gurunya karena unjuk kerjanya yang bagus. Namun demikian,
mereka mungkin juga mengganggu kelas, mencoba melakukan hal-hal yang berbahaya,
atau mulai merokok karena perilaku-perilaku tersebut mengarahkan perhatian dan
penerimaan dari kelompok sebayanya. Salah satu penguat yang paling umum untuk
perilaku manusia adalah uang. Banyak orang dewasa menghabiskan waktunya selama
berjam-jam untuk pekerjaan mereka karena imbalan upah. Untuk individu tertentu, uang
9
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
dapat juga menjadi penguat untuk perilaku yang tidak diinginkan, seperti perampokan,
penjualan obat bius, dan penggelapan pajak.
Reinforcement negatif merupakan suatu cara untuk memperkuat suatu perilaku
melalui cara menyertainya dengan menghilangkan atau meniadakan stimulus yang tidak
menyenangkan. Ada dua tipe reinforcement negatif: mengatasi dan menghindari. Di
dalam tipe pertama (mengatasi), seseorang melakukan perilaku khusus mengarah pada
menghilangkan stimulus yang tidak mengenakkan. Sebagai contoh, jika seseorang
dengan sakit kepala mencoba obat jenis baru pengurang rasa sakit dan sakit kepalanya
dengan cepat hilang, orang ini kemungkinan akan menggunakan obat itu lagi ketika
terjadi lagi sakit kepala. Dalam tipe kedua (menghindari), seseorang melakukan suatu
perilaku menghindari akibat yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, pengemudi
kemungkinan mengambil jalur tepi jalan raya untuk menghindari tabrakan beruntun,
pengusaha membayar pajak untuk menghindari denda dan hukuman, dan siswa
mengerjakan pekerjaan rumahnya untuk menghindari nilai buruk
2) Hukuman
Apabila reinforcement memperkuat perilaku, hukuman memperlemah,
mengurangi peluangnya terjadi lagi di masa depan. Sama halnya dengan reinforcement,
ada dua macam hukuman, positif dan negatif.
Hukuman yang positif meliputi mengurangi perilaku dengan memberikan
stimulus yang tidak menyenangkan jika perilaku itu terjadi. Orang tua menggunakan
hukuman positif ketika mereka memukul, memarahi, atau meneriaki anak karena perilaku
yang buruk. Masyarakat menggunakan hukuman positif ketika mereka menahan atau
memenjarakan seseorang yang melanggar hukum.
Hukuman negatif atau disebut juga peniadaan, meliputi mengurangi perilaku
dengan menghilangkan stimulus yang menyenangkan jika perilaku terjadi. Taktik orang
tua yang membatasi gerakan anaknya atau mencabut beberapa hak istimewanya karena
perbuatan anaknya yang buruk merupakan contoh hukuman negatif.
Kontroversi yang besar terjadi manakala membicarakan apakah hukuman
merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau meniadakan perilaku yang tidak
diinginkan. Eksperimen dalam laboratorium yang sangat hati-hati membuktikan bahwa,
10
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
ketika hukuman digunakan dengan bijaksana, ternyata menjadi metode yang efektif
dalam mengurangi perilaku yang tidak diinginkan. Namun demikian, hukuman memiliki
beberapa kelemahan. Ketika seseorang dihukum sehingga sangat menderita, ia menjadi
marah, agresif, atau reaksi emosional negatif lainnya. Mereka mungkin menyembunyikan
bukti-bukti perilaku salah mereka atau melarikan diri dari situasi buruknya, seperti halnya
ketika seorang anak lari dari rumahnya. Lagi pula, hukuman mungkin mengeliminasi
perilaku yang dikehendaki bersamaan dengan hilangnya perilaku yang tidak dikehendaki.
Sebagai contoh, seorang anak yang dipukul karena membuat kesalahan di depan kelas
kemungkinan tidak berani lagi tunjuk jari. Karena alasan ini dan beberapa alasan lainnya,
banyak pakar psikologi yang merekomendasikan bahwa hukuman hanya boleh dilakukan
untuk mengontrol perilaku ketika tidak ada alternatif lain yang lebih realistis.
3) Pembentukan
Pembentukan merupakan teknik penguatan yang digunakan untuk mengajar
perilaku hewan atau manusia yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Dalam
cara ini, guru memulainya dengan penguatan kembali suatu respons yang dapat dilakukan
oleh pembelajar dengan mudah, dan secara berangsur-angsur ditambah tingkat kesulitan
respons yang dibutuhkan. Sebagai contoh, mengajar seekor tikus menekan tuas yang
terletak di atas kepalanya, pelatihnya dapat pertama-tama memberikan hadiah pada
gerakan kepala apapun ke arah atas, kemudian gerakan ke arah atas 2,5 cm, dan
seterusnya, sampai gerakan tersebut mampu menekan tuas.
Pakar psikologi telah menggunakan shaping (pembentukan) ini untuk
mengajarkan kemampuan berbicara pada anak-anak dengan keterbelakangan mental yang
parah dengan pertama-tama memberikan hadiah pada suara apa pun yang mereka
keluarkan, dan kemudian secara berangsur menuntut suara yang semakin menyerupai
kata-kata dari gurunya. Pelatih binatang di dalam sirkus dan kebun binatang
menggunakan shaping ini untuk mengajar gajah berdiri dengan hanya bertumpu pada
kaki belakangnya saja, harimau berjalan di atas bola, anjing berjalan di dalam roda yang
berputar ke arah belakang, dan paus pembunuh dan lumba-lumba melompat melalui
lingkaran.
11
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
4) Eliminasi Penguatan
Sebagaimana dalam classical conditioning, respons yang dipelajari di dalam
operant conditioning tidak selalu permanen. Di dalam operant conditioning, extinction
(eliminasi kondisi) merupakan eliminasi dari perilaku yang dipelajari dengan
menghentikan penguat dari perilaku tersebut. Jika seekor tikus telah belajar menekan tuas
karena dengan melakukan ini hewan tersebut menerima makanan, tingkat penekanannya
pada tuas akan berkurang dan pada akhirnya berhenti sama sekali jika makanan tidak lagi
diberikan. Pada manusia, menarik kembali penguat akan menghilangkan perilaku yang
tidak diinginkan. Sebagai contoh, orang tua seringkali memberikan reinforcement negatif
sifat marah anak-anak muda dengan memberinya perhatian. Jika orang tua mengabaikan
saja kemarahan anak-anak dengan lebih memberikannya hadiah berupa perhatian
tersebut, frekuensi kemarahan dari anak-anak tersebut seharusnya secara berangsurangsur
akan berkurang.
5) Generalisasi dan Diskriminasi
Generalisasi dan diskriminasi yang terjadi di dalam operant conditioning nyaris
sama dengan yang terjadi di dalam classical conditioning. Dalam generalisasi, seseorang
suatu perilaku yang telah dipelajari dalam suatu situasi dilakukan dalam kesempatan lain
namun situasinya sama. Sebagai misal, seseorang yang diberi hadiah dengan tertawa atas
ceritanya yang lucu di suatu bar akan mengulang cerita yang sama di retoran, pesta, atau
resepsi pernikahan. Diskriminasi merupakan proses belajar bahwa suatu perilaku akan
diperkuat dalam suatu situasi namun tidak dalam situasi lain. Seseorang akan belajar
bahwa menceritakan leluconnya di dalam gereja atau dalam situasi bisnis yang
memerlukan keseriusan tidak akan membuat orang tertawa. Stimuli diskriminatif
memberikan peringatan bahwa suatu perilaku sepertinya diperkuat negatif. Orang
tersebut akan belajar menceritakan leluconnya hanya ketika ia berada pada situasi yang
riuh dan banyak orang (stimulus diskriminatif). Belajar ketika perilaku akan dan tidak
akan diperkuat merupakan bagian penting dari operant conditioning.
c. Penerapan Operant Conditioning
12
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Operant conditioning memiliki manfaat praktis di dalam kehidupan sehari-hari.
Orang tua dapat memperkuat perilaku anak-anaknya yang sesuai dan memberikan
hukuman pada perilaku yang tidak sesuai, dan mereka dapat menggunakan teknik
generalisasi dan diskriminasi untuk membelajarkan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
situasi-situasi tertentu. Di dalam kelas, guru memperkuat kemampuan akademik yang
bagus dengan sedikit hadiah atau hak-hak tertentu. Perusahaan menggunakan hadiah
untuk memperbaiki kehadiran, produktivitas, dan keselamatan kerja bagi para pekerjanya.
Pakar psikologi yang disebut terapis perilaku menggunakan prinsip-prinsip belajar
operant conditioning untuk merawat anak-anak atau orang dewasa yang memiliki
kelainan pakar psikologiis ataupun masalah perilaku. Terapis perilaku ini menggunakan
teknik shaping untuk mengajar keterampilan bekerja pada orang-orang dewasa yang
mengalami keterbelakangan mental. Mereka menggunakan teknik reinforcement untuk
mengajar keterampilan merawat diri sendiri pada orang-orang yang menderita sakit
mental yang parah, dan menggunakan hukuman dan ekstingsi (eliminasi kondisi) untuk
mengurangi perilaku agresif dan antisosial dari orang-orang tersebut. Pakar psikologi
juga menggunakan teknik operant conditioning untuk merawat kecenderungan bunuh
diri, kelainan seksual, permasalahan perkawinan, kecanduan obat terlarang, perilaku
nkonsumtif, kelainan perilaku dalam makan, dan masalah lainnya.
C. KOGNITIVISME
Menjelang berakhirnya tahun 1950-an banyak muncul kritik terhadap
behaviorisme. Banyak keterbatasan dari behaviorisme dalam menjelaskan berbagai
masalah yang berkaitan dengan belajar. Banyak pakar psikologi waktu itu yang
berpendapat behaviorisme terlalu fokus pada respons dari suatu stimulus dan perubahan
perilaku yang dapat diamati.
Kognitivis mengalihkan perhatiannya pada “otak”. Mereka berpendapat
bagaimana manusia memproses dan menyimpan informasi sangat penting dalam proses
belajar. Akhirnya proposisi (gagasan awal) inilah yang menjadi fokus baru mereka.
Kognitivisme tidak seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun lebih
cenderung perluasannya, khususnya pada gagasan eksistensi keadaan mental yang bisa
13
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
mempengaruhi proses belajar. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa
belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa,
pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Mereka meneliti bagaimana manusia
memproses informasi dan membentuk representasi mental dari orang lain, objek, dan
kejadian.
1. Percobaan Tollman
Sesungguhnya, pada tahun 1930 pakar psikologi AS Edward C. Tolman sudah
meneliti proses kognitif dalam belajar dengan penelitian eksperimen bagaimana tikus
belajar mencari jalan melintasi maze (teka-teki berupa jalan yang ruwet). Ia menemukan
bukti bahwa tikus-tikus percobaannya membentuk “peta kognitif” (atau peta mental)
bahkan pada awal eksperimen, namun tidak menampakakan hasil belajarnya sampai
mereka menerima penguatan untuk menyelesaikan jalannya melintasi maze—suatu
fenomena yang disebutnya latent learning atau belajar latent. Eksperimen Tolman
menunjukkan bahwa belajar adalah lebih dari sekedar memperkuat respons melalui
penguatan.
2. Jerome Bruner
Jerome Bruner adalah guru besar di dua universitas terkemuka dunia yaitu
Harvard (AS) dan Oxford (Inggris). Yatim di usia 12 tahun dan keluarga yang sering
pindah tidak menghalanginya untuk berprestasi. Bruner memiliki peran besar dalam
perubahan arus utama psikologi dari behaviorisme ke kognitivisme pada dekade 1950-an
dan 1960-an. Karya pentingnya yang secara eksplisit mengawali kognitivisme diterbitkan
tahun 1956, A Study in Thinking. Dalam bukunya tersebut Bruner mendefinisikan proses
kognitif sebagai “alat bagi organisme untuk memperoleh, menyimpan, dan
mentransformasi informasi.” Bruner juga pelopor utama konstruktivisme.
Gagasan utama Bruner didasarkan kategorisasi. "Memahami adalah kategorisasi,
konseptualisasi adalah kategorisasi, belajar adalah membentuk kategori-kategori,
membuat keputusan adalah kategorisasi." Bruner berpendapat bahwa orang
menginterpretasikan dunia melalui persamaannya dan perbedaannya. Sebagaimana
14
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
halnya Taksonomi Bloom, Bruner berpendapat tentang adanya suatu sistem pengkodean
di mana orang membentuk susunan hierarkhis dari kategori-kategori yang saling
berhubungan. Gagasannya yang disebut instructional scaffolding (dukungan dalam
pembelajaran) ini berupa hierarkhi kategori berjenjang di mana semakin tinggi semakin
spesifik, menyerupai gagasan Benjamin Bloom tentang perolehan pengetahuan.
Bruner mengemukakan ada dua mode utama dalam berpikir: naratif dan
paradigmatik. Dalam berpikir naratif, pikiran fokus pada berpikir yang sekuensial,
berorientasi pada kegiatan, dan dorongan berpikir secara rinci. Dalam berpikir
paradigmatik, pikiran melampaui kekhususan sehingga memperoleh pengetahuan yang
sistematis dan kategoris. Pada mode pertama, proses berpikir seperti halnya cerita atau
drama. Pada mode kedua, berpikir secara berstruktur seperti halnya menghubungkan
berbagai gagasan mendasar dengan cara yang logis.
Dalam penelitiannya terhadap perkembangan anak (1966), Bruner menelorkan
gagasan tentang tiga mode representasi: representasi enactive (berbasis tindakan),
representasi iconic (berbasis gambaran), dan representasi simbolik (berbasis bahasa).
Semua representasi mode tersebut tidak bisa dijelaskan sebagai jenjang yang terpisah,
namun terintegrasi dan hanya terpisah secara sekuensial selagi "diterjemahkan" satu sama
lain. Representasi simbolik menjadi mode terakhir, karena yang paling misterius dari
ketiganya. Teori Bruner berpendapat adalah produktif ketika menghadapi materi baru
dengan mengikuti representasi secara progressif dari enactive ke iconic baru ke simbolik;
bahkan hal ini juga berlaku bagi pembelajar dewasa. Untuk para perancang kegiatan
pembelajaran, karya Bruner tersebut juga berpendapat bahwa seorang pembelajar bahkan
ketika masih belia sudah mampu mempelajari materi dalam waktu lama apabila materi
tersebut diorganisasi secara baik. Pendaapat ini sangat berbeda dengan teori Piaget dan
teoris tentang tahapan perkembangan yang lain.
3. Teori Noam Chomsky dalam Belajar Bahasa
Avram Noam Chomsky adalah profesor emeritus bidang linguistik di
Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia mengawali revolusi kognitif dalam
psikologi di tahun 1959 dengan menulis "A Review of B. F. Skinner's Verbal Behavior"
15
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
di jurnal Language. Buku Skinner yang direview Chomsky berjudul Verbal behavior
tersebut terbit tahun 1957.
Chomsky menganggap terjadi kesalahan dalam bagian tulisan Skinner tentang
perkembangan bahasa seseorang. Chomsky mengemukakan bahwa anak-anak di seluruh
dunia mulai belajar berbicara rata-rata pada usia yang sama dan berkembang melalaui
tahapan-tahapan yang rata-rata sama pula meskipun tanpa secara eksplisit diajar atau
diberi hadiah untuk upayanya tersebut. Menurut Chomsky, kapasitas manusia untuk
belajar bahasa adalah bawaan. Ia memiliki teori bahwa otak manusia memiliki
“hardware” untuk bahasa sebagai hasil dari evolusi. Dengan menunjuk fungsi vital
disposisi biologis dalam perkembangan bahasa, teori Chomsky memukul secara telak
asumsi behavioris bahwa semua perilaku manusia dibentuk dan dipertahankan melalui
reinforcement (penguatan).
Dalam meneliti belajar bahasa, Chomsky fokus pada pertanyaan-pertanyaan
tentang cara kerja dan perkembangan struktur internal bawaan untuk sintaksis yang
mampu secara kreatif mengorganisasi, menyatukan, menyesuaikan, dan
mengkombinasikan kata-kata dan frase-frase menjadi tutur yang dapat dipahami.
Dalam reviewnya Chomsky menekankan bahwa penerapan ilmiah prinsip-prinsip
behaviorisme dari penelitian terhadap hewan sangat kurang memadai dalam memberikan
penjelasan tentang perilaku verbal manusia karena teori tersebut membatasi diri terhadap
kondisi eksternal. Meneliti "apa yang dipelajari" saja tidak memadai untuk menjelaskan
tata bahasa generatif. Chomsky menekankan contoh-contoh perolehan bahasa yang cepat
oleh anak-anak, termasuk cepat berkembangnya kemampuan untuk membentuk kalimat
yang sesuai tata bahasa.
Chomsky memiliki prinsip bahwa untuk memahami perilaku verbal manusia
seperti aspek-aspek kreatif dari penggunaan dan pengembangan bahasa, seseorang harus
pertama-tama menerima postulat (dalil) adanya genetika yang membawa kemampuan
linguistik.
4. Teori Piaget
16
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Piaget profesor psikologi di Universitas Jenewa, Swiss. Teorinya tentang
perkembangan kognitif anak (dibahas pada bab tersendiri) merupakan salah satu tonggak
munculnya kognitivisme. Perkembangan kognitif merupakan pertumbuhan logika
berpikir dari bayi sampai dewasa.
Piaget memiliki asumsi dasar kecerdasan manusia dan biologi organisme
berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya adalah sistem terorganisasi yang secara
konstan berinteraksi dengan lingkungan.
Pengetahuan merupakan interaksi antara individu dengan lingkungan. Outcome
dari perkembangan kognitif adalah konstruksi dari schema kegiatan, operasi konkret dan
operasi formal. Komponen perkembangan kognitif adalah asimilasi dan akomodasi, yang
diatur secara seimbang. Memfasilitasi berpikir logis melalui ekperimentasi dengan objek
nyata, yang didukung boleh interaksi antara peer dan guru. (Schema adalah struktur
terorganisasi yang merefleksikan pengetahuan, pengalaman, dan harapan dari individu
terhadap berbagai aspek dunia nyata).
Sebagaimana Bruner, Piaget juga memelopori lahirnya konstruktivisme.
5. Teori Vygotsky
Lev Vygotsky adalah pakar psikologi lulusan Insitut Psikologi Moskow, Uni
Soviet (sekarang Rusia). Meninggal pada tahun 1930-an di usia relatif muda (40 tahun)
karena penyakit TBC, ia meninggalkan banyak karya yang banyak dieksplorasi orang
hingga kini.
Dalam masa karir akademiknya yang singkat, Vygotsky aktif di sejumlah bidang
akademik, termasuk analisis psikologis dalam seni dan cerita rakyat; psikologi anak yang
meliputi masalah anak-anak tuna rungu dan tuna grahita; dan analisis psikologis untuk
orang dewasa penderita kerusakan otak. Karya utamanya antara lain Thought and
Language (1937), Selected Psychological Studies (1956), dan Development of the Higher
Mental Processes (1960).
Karyanya dalam bidang perkembangan bahasa dan linguistik didasarkan atas
hipotesisnya bahwa proses kognitif tingkat tinggi merupakan hasil dari perkembangan
sosial.
17
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Semula penganut teori Pavlov, Vygotsky berbalik menentangnya karena ia
berpendapat bahwa stimulus dan respons saja tidak cukup untuk menjelaskan tentang
realitas aktivitas manusia. Aktivitas yang dilakukan manusia membutuhkan 'mediator'
ekstra melalui alat atau bahasa. Dengan menggunakan alat kita dapat melakukan kegiatan
di lingkungan fisik dan dengan bahasa kita dapat melakukan kegiatan di lingkungan
konseptual dan sosial sehingga dapat melakukan perubahan. Dengan demikian Vygotsky
membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan
bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika
seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu.
Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.
Dari awal risetnya tentang aturan dan perilaku tentang perkembangan penggunaan
alat dan penggunaan tanda, Vygotsky berpaling ke proses simbolik dalam bahasa. Ia
fokus pada struktur semantik dari kata-kata dan cara bagaaimana arti kata-kata berubah
dari emosional ke konkret sebelum menjadi lebih abstrak.
Karya-karya Vygotsky antara 1920-1930 memberikan penekanan bagaimana
interaksi anak-anak dengan orang dewasa berkontribusi dalam pengembangan berbagai
keterampilan. Menurut Vygotsky, orang dewasa yang sensitif akan peduli terhadap
kesiapan anak untuk tantangan baru, sehingga mereka dapat menyusun kegiatan yang
cocok untuk mengembangkan keterampilan baru. Orang dewasa berperan sebagai mentor
dan guru, mengarahkan anak ke dalam zone of proximal development—istilah dari
Vygotsky yang berarti suatu zone perkembangan di mana anak tidak mampu melakukan
suatu kegiatan belajar tanpa bantuan namun dapat melakukannya secara baik di bawah
bimbingan orang dewasa. Orang tua mungkin bisa mengajar konsep-konsep angka yang
sederhana, sebagai misal, dengan menghitung manik-manik bersama anak atau
menghitung mengukur bahan-bahan ketika memasak dengan menggunakan takaran.
Ketika anak-anak berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari seperti ini dengan orang tua,
guru, dan orang lain, mereka akan secara bertahap mempelajari praktik buadaya, nilainilai,
ketrampilan.
D. TEORI HUMANISME “KEKUATAN KETIGA”
18
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Dihadapkan pada dua pilihan antara behaviorisme dan psikoanalisis yang
termasuk kognitivisme banyak pakar psikologi di era tahun 1950-an dan 1960-an yang
memilih ke alternatif konsepsi psikologis sifat dasar manusia. Freud telah memusatkan
perhatian pada kekuatan sisi gelap ketidaksadaran, dan Skinner hanya tertarik pada
pengaruh penguatan dari perilaku yang dapat diamati. Lahirlah Psikologi Humanistik
untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang kesadaran pikiran, kebebasan kemauan,
martabat manusia, kemampuan untuk berkembang dan kapasitas refleksi diri. Karena
menjadi alternatif terhadap behaviorismedan kognitivisme, Psikologi humanistik atau
humanisme menjadi lebih terkenal sebagai “kekuatan ketiga.”
Humanisme dipelopori oleh pakar psikologi Carl Rogers dan Abraham Maslow.
Menurut Rogers, semua manusia yang lahir sudah membawa dorongan untuk meraih
sepenuhnya apa yang diinginkan dan berperilaku dalam cara yang konsisten menurut diri
mereka sendiri. Rogers, seorang psikoterapis, mengembangkan person-centered therapy,
suatu pendekatan yang tidak bersifat menilai ataupun tidak memberi arahan yang
membantu klien mengklarifikasi dirinya tentang siapa dirinya sebagai suatu upaya
fasilitasi proses memperbaiki kondisinya. Hampir pada saat yang bersamaan, Maslow
mengemukakan teorinya bahwa semua orang memiliki motivasi untuk memenuhi
kebutuhannya yang bersifat hierarkhis. Pada bagian paling bawah dari hirarkhi ini adalah
kebutuhan-kebutuhan fisikal seperti rasa lapar, haus, dan mengantuk. Di atasnya adalah
kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan cinta, dan kepercayaan diri
yang berkaitan dengan kebutuhan akan status dan pencapaian. Ketika berbagai kebutuhan
ini terpenuhi, Maslow yakin, orang akan meraih aktualisasi diri, suatu puncak
pemenuhan kebutuhan dari seseorang. Sebagaimana kata Maslow, “Seorang musisi
haruslah mencipta lagu, seorang pelukis harus melukis, seorang penyair harus menulis
puisi, jika ia ingin damai dengan dirinya. Apa yang ia mampu lakukan, ia harus lakukan.”
Gagasan lain dari humanisme dapat diringkas sebagai berikut:
1. Setiap orang memiliki kapasitas untuk berkembang.
2. Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih tujuan hidupnya.
3. Humanisme menekankan pentingnya kualitas hidup manusia.
4. Setiap orang memiliki kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya.
5. Persepsi pribadi seseorang terhadap dirinya sendiri lebih penting dari lingkungan.
19
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
6. Setiap orang memiliki potensi untuk memahami dirinya sendiri.
7. Setiap orang seharusnya memberikan dukungan pada orang lain sehingga semua
memiliki citra diri yang positif serta pemahaman diri yang baik.
8. Carl Rogers menekankan pentingnya suasana lingkungan yang hangat dan bisa
menjadi terapi.
9. Abraham Maslow berpendapat bahwa potensi kita sesunggahnya tidak terbatas.
10. Terjadinya kebersamaan disebabkan adanya persepsi positif satu sama lain.
11. Rogers berpendapat bahwa seseorang akan tidak mempercayai hal-hal positif dari
dirinya dan rasa percaya dirinya rendah bila ada anggapan positif orang lain namun
bersyarat.
12. Konsep-diri adalah bagaimana seseorang mengenal potensinya, perilakunya, dan
kepribadiannya.
13. Realita adalah bagaimana sesungguhnya diri seseorang sedangkan idealisme adalah
bagaimana seseorang menginginkan dirinya menjadi apa.
14. Anggapan positif tanpa syarat, ketulusan dan empati membantu memperbaiki
hubungan seseorang dengan orang lain.
15. Seseorang akan bermanfaat bagi orang lain apabila terbuka terhadap pengalaman,
tidak terlalu mementingkan diri, peduli pada sekitarnya, dan memiliki hubungan yang
harmonis dengan orang lain.
16. Aktualisasi diri adalah dorongan untuk mengembangkan potensi secara penuh sebagai
manusia dari diri seseorang.
Salah satu kritikus terhadap humanisme mengatakan adalah sulit untuk mengukur
aktualisasi diri. Ada juga yang berpendapat humanisme terlalu optimis dalam
memandang manusia. Yang lain lagi mengatakan humanisme membangkitkan rasa
kekaguman pada diri sendiri.
E. KONSTRUKTIVISME
Dalam perkembangan selanjutnya, arus utama kognitivisme bergeser ke
konstruktivisme. Para kognitivis pun mengikuti dinamika perubahan menuju
konstruktivis.
20
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
1. Pengertian
Konstruktivisme memandang belajar sebagai proses di mana pembelajar secara
aktif mengkonstruksi atau membangun gagasan-gagasan atau konsep-konsep baru
didasarkan atas pengetahuan yang telah dimiliki di masa lalu atau ada pada saat itu.
Dengan kata lain, ”belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari
pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri”. Dengan demikian, belajar menurut
konstruktivis merupakan upaya keras yang sangat personal, sedangkan internalisasi
konsep, hukum, dan prinsip-prinsip umum sebagai konsekuensinya seharusnya
diaplikasikan dalam konteks dunia nyata. Guru bertindak sebagai fasilitator yang
meyakinkan siswa untuk menemukan sendiri prinsip-prinsip dan mengkonstruksi
pengetahuan dengan memecahkan problem-problem yang realstis. Konstruktivisme juga
dikenal sebagai konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses sosial. Kita dapat
melakukan klarifikasi dan mengorganisasi gagasan mereka sehingga kita dapat
menyuarakan aspirasi mereka. Hal ini akan memberi kesempatan kepada kita
mengelaborasi apa yang mereka pelajari. Kita menjadi terbuka terhadap pandangan orang
lain Hal ini juga memungkinkan kita menemukan kejanggalan dan inkonsistensi karena
dengan belajar kita bisa mendapatkan hasil terbaik. Konstruktivisme dengan sendirinya
memiliki banyak variasi, seperti Generative Learning, Discovery Learning, dan
knowledge building. Mengabaikan variasi yang ada, konstruktivisme membangkitkan
kebebasan eksplorasi siswa dalam suatu kerangka atau struktur.
Dalam sidut pandang laiinya. konstruktivisme merupakan seperangkat asumsi
tentang keadaan alami belajar dari manusia yang membimbing para konstruktivis
mempelajari teori metode mengajar dalam pendidikan.
Nilai-nilai konstruktivisme berkembang dalam pembelajaran yang didukung oleh
guru secara memadai berdasarkan inisiatif dan arahan dari siswa sendiri.
Ada istilah lain yang sering disalahartikan sama dengan konstruktivisme, yaitu
maturationisme. Konstruktivisme (yang merupakan perkembangan kognitif) merupakan
suatu aliran yang "yang didasarkan pada gagasan bahwa proses dialektika atau interaksi
dari perkembangan dan pembelajaran melalui konstruksi aktif dari siswa sendiri yang
difasilitasi dan dipromosikan oleh orang dewasa " Sedangkan, "Aliran maturationisme
romantik didasarkan pada gagasan bahwa perkembangan alami siswa dapat terjadi tanpa
21
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
intervensi orang dewasa dalam lingkungan yang penuh kebebasan " (DeVries et al.,
2002).
2. Teori Tahapan Perkembangan Anak dari Piaget
Selama berabad-abad yang lalu gagasan konstruktivis kurang berkembang secara
luas disebabkan persepsi yang umum pada waktu itu bahwa kegiatan bermain yang
dilakukan siswa dalam pembelajaran tampaknya kurang penting atau yang lebih parah
dianggap tidak dapat mencapai apapun. Jean Piaget tidak setuju dengan pandangan
tradisional ini. Ia memandang kegiatan bermain sebagai sesuatu yang penting dan sangat
diperlukan sebagai bagian dari perkembangan kognitif siswa. Untuk mendukung
pandangannya tersebut, Piaget mengajukan bukti ilmiah. Pada saat ini, teori
konstruktivisme sangat mempengaruhi seluruh sektor pendidikan bahkan sektor
pendidikan informal.
Menurut Ernst von Glasersfeld (1996), Jean Piaget adalah "pelopor terbesar teori
konstruktivisme yang diketahui" serta "konstruktivis paling produktif di abad ini."
Namun apabila kita telusuri, jauh sebelumnya konstruktivisme sebagai gagasan sudah
dilontarkan oleh banyak tokoh pendidikan.
Gredler (2001) mengkategorikan Piaget sebagai konstruktivis radikal karena
menganggap bahwa konstruktivisme radikal muncul secara langsung sebagai akibat dari
teori Piaget tentang tahapan perkembangan kognitif anak.
Meskipun tidak ada teori perkembangan kognitif yang umum, teori yang paling
bersejarah dan berpengaruh adalah teori yang dikembangkan oleh Jean Piaget, Psikolog
berkebangsaan Swiss (1896-1980). Teorinya berisi konsep-konsep utama di bidang
psikologi perkembangan dan berkenaan dengan pertumbuhan intelegensi, yang untuk
Piaget, berarti kemampuan untuk secara lebih akurat merepresentasikan dunia, dan dan
mengerjakan operasi-operasi logis dari representasi-representasi konsep realitas dunia.
Teori ini memiliki fokus perhatian pada bangkitnya dan dimilikinya schemata—skema
bagaimana seseorang mengenal dunia—dalam saat "tingkatan-tingkatan perkembangan",
ketika anak-anak menerima cara baru bagaimana secara mental merepresentasikan
22
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
informasi. Teori ini dianggap "konstruktivis", yang berarti bahwa, tidak seperti teori
nativis (yang berpendapat bahwa perkembangan kognitif sebagai perkembangan dari
pengetahuan dan kemampuan bawaan) ataupun teori empiris (yang berpendapat bahwa
perkembangan kognitif sebagai perolehan gradual dari pengetahuan melalui
pengalaman), teori ini berpendapat bahwa kita mengkonstruksi kemampuan kognitif kita
melalui kegiatan motivasi-diri dalam dunia nyata. Karena teorinya ini, Piaget
mendapatkan Penghargaan Erasmus.
Piaget membagi skema Anak dalam menggunakan pemahamannya untuk
memahami dunia mealui empat tahapan utama, yang secara umum berkorelasi dengan
dan semakin bertambah canggih sejalan dengan bertambahnya usia:
a. Tahapan Sensorimotor (Usia 0-2 tahun)
Menurut Piaget, anak dalam tahapan sensorimotor lebih mengutamakan
mengeksplorasi dunia nyata dengan perasaan dibandingkan dengan melalui operasi
mental. Bayi terlahir dengan seperangkat refleks yang sama, menurut Piaget, sebagai
tambahan dorongan untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia nyata. Skema awalnya
dibentuk melalui diferensiasi refleks-refleks yang sama tersebut (lihat asimilasi dan
akomodasi di bagian berikut).
Tahapan sensorimotor merupakan tahapan paling awal dari empat tahapan.
Menurut Piaget, tahapan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan spasial esensial
dan pemahaman dari dunia nyata yang terdiri dari enam sub-tahapan.
Sub-tahapan pertama terjadi dari kelahiran sampai dengan enam minggu dan
berasosiasi terutama dengan perkembangan refleks. Tiga refleks utama dideskripsikan
oleh Piaget: memasukkan objek-objek ke mulut, mengikuti pandangan mata ke objek
begerak atau objek menarik, dan mengepalkan tangan ketika suatu objek kontak dengan
telapak tangan. Selama enam minggu kehidupan awal, refleks-refleks ini mulai menjadi
kegiatan yang disadari; sebagai contoh, refleks mengepal menjadi gerakan menangkap
dengan sengaja. (Gruber and Vaneche, 1977).
23
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Sub-tahapan kedua terjadi sejak usia enam minggu sampai empat bulan dan
terutama berasosiasi dengan kebiasaan. Ciri utamanya adalah reaksi berulang atau
pengulangan kegiatan yang pada awalnya hanya melibatkan satu bagian tubuhnya saja.
Contoh dari tipe reaksi ini antara lain mencakup seorang bayi berulang-ulang
menggerakkan tangannya di depan wajahnya. Juga pada tahapan ini dimungkinkan
dimulainya reaksi pasif, disebabkan oleh classical conditioning atau operant conditioning
(Gruber et al., 1977).
Sub-tahapan ketiga terjadi mulai bayi berusia empat bulan sampai sembilan bulan
dan terutama berasosiasi dengan koordinasi antara pandangan dengan pengenalan melalui
indera lainnya. Tiga kemampuan baru mulai dimiliki pada tahapan ini: menggenggam
dengan sengaja benda-benda yang diinginkan, reaksi berulang kedua, dan diferensiasi
terhadap cara dan keinginan. Pada tahapan ini, seorang bayi menggapai-gapai di udara
secara sengaja ke arah suatu objek yang diinginkannya, gerakan lucu yang seringkali
sangat disenangi oleh keluarganya. Reaksi berulang kedua, atau pengulangan terhadap
suatu gerakan yang melibatkan objek eksternal dimulai: seperti gerakan orang dewasa
memencet tombol lampu secara berulang. Ada kemungkinan ini merupakan satu dari
tahapan paling penting dari pertumbuhan anak karena ini sangat berarti bagi dimulainya
penalaran (Gruber et al., 1977). Bagian paling akhir dari dari sub-tahapan ini adalah bayi
mulai memiliki perasaan keberadaan objek secara permanen, semacam melalui tes
kesalahan A-bukan-B.
Sub-tahapan ke empat terjadi dari usia sembilan sampai dua belas bulan dan
berasosiasi terutama dengan perkembangan logika dan koordinasi antara cara dan
keinginan. Tahapan ini amat vital dari perkembangan, terjadi apa yang disebut Piaget
"kecerdasan sebenarnya pertama." Juga, tahapan ini ditandai dengan dimulainya orientasi
tujuan, perencanaan besar dari langkah-langkah untuk mencapai tujuan (Gruber et al.
1977).
Sub-tahapan kelima terjadi dari usia dua belas sampai delapan belas bulan dan
berasosiasi terutama dengan penemuan keinginan-keinginan baru untuk mencapai tujuan.
Piaget mendeskripsikan anak pada tahapan ini sebagai "cendekiawan muda," memulai
24
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
semacam eksperimen untuk menemukan metode baru dalam menemui tantangan (Gruber
et al. 1977).
Sub-tahapan ke enam berasosiasi terutama dengan dimulainya wawasan, atau
kretivitas yang sesungguhnya. Saat ini menandai transformasi menuju tahapan
preoperasional.
1) Peranan imitasi
Piaget merumuskan kegiatan imitatif merupakan pendahuluan dari simbolisme
mental.[1] Aktivitas tubuh, menirukan gerakan dari fenomena yang teramati, pada
akhirnya membangun pemberi arti tubuh/perilaku yang tertuju pada fenomena dalam cara
yang bisa diperbandingkan dengan simbol-simbol mental yang kemudian akan menjadi
fenomena-fenomena tersebut. Bentuk-bentuk imitatif seperti ini memfasilitasi dasar-dasar
kegiatan simbolik mental yang terbangun di kemudian hari. Simbolnya adalah, menurut
Piaget, suatu imitasi yang terinternalisasi.
Bagi Piaget, bahkan persepsi dari suatu objek merupakan aktivitas imitatif; ketika
mata melacak bentuk dari suatu objek ia akan membentuk konsep pre-simbolik dari objek
tersebut. Piaget mengungkapkan bahwa pengalaman akan berbagai gerakan di sini
kemungkinan diulangi oleh anak di dalam suatu peragaan singkat ketika mengingat-ingat
objek; Gambaran tubuh ini mensimbolkan objek yang telah dipersepsikan sebelumnya.
b. Tahapan Praoperational (Usia 2-7 tahun)
Tahapan preoperasional merupakan tahapan kedua dari empat tahapan
perkembangan kognitif. Dengan mengamati urutan bermain, Piaget dapat
mendemonstrasikan bahwa sampai dengan akhir tahun kedua secara kualitatif terjadi
fungsi psikologis jenis baru. Cara bekerja teori aliran Piaget adalah dalam berbagai
prosedur peran mental terhadap objek. Ciri pembeda dari tahapan preoperasional adalah
operasi mental yang jarang tidak memadai logika.
Menurut Piaget, tahapan Pre-Operasional dari perkembangan mengikuti tahapan
Sensorimotor dan terjadi antara usia 2-7 tahun. Tahapan ini meliputi beberapa proses:
25
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Symbolic functioning (pemfungsian simbol) – yang dicirikan oleh penggunaan
simbol-simbol mental berupa kata atau gambar yang digunakan anak untuk
merepresentasikan sesuatu yang secara fisik tidak ada.
Centration (pemusatan) – dicirikan oleh fokus atau pemusatan perhatian dari anak
pada hanya satu aspek dari stimulus atau situasi. Sebagai contoh, dalam menuangkan
sejumlah tertentu cairan dari dari wadah yang sempit ke dalam mangkuk yang dangkal,
anak prasekolah kemungkinan menyimpulkan bahwa kuantitas dari cairan telah
berkurang, karena menjadi "lebih rendah"—hal ini dikarenakan anak hanya
memperhatikan ketinggian air, namun tidak memperhitungkan diameter wadah yang
baru.
Intuitive thought (pemikiran intuitif) – terjadi ketika anak dapat mempercayai
sesuatu tanpa memahami mengapa dia mempercayai itu.
Egocentrism – suatu jenis centration, yang berarti suatu tendensi dari seorang
anak untuk memikirkan hanya sudut pandangnya sendiri saja. Juga, ketidakmampuan
anak untuk memahami sudut pandang orang lain.
Inability to Conserve (ketidak mampuan berbicara) – Melalui eksperimen yang
pernah dilakukan Piaget dalam percakapan (pembicaaan tentang massa, volume dan
angka) Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak pada tahapan preoperasional memiliki
persepsi yang kurang dalam pembicaraan tentang massa, volume, dan angka setelah
bentuk aslinya berubah. Sebagai contoh, seorang anak pada tahapan ini akan percaya
bahwa roti yang ditata berjajar dengan pola "O-O-O-O-O" akan memiliki jumlah yang
sama dengan roti yang ditata berjajar dengan pola "OO-O-OO-O", karena mereka
memiliki panjang atau ketinggian yang sama, atau cairan dalam gelas 8-ons yang yang
lonjong memiliki cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan cairan 8-ons dalam
gelas yang melebar (lihat juga centration, di atas).
c. Tahapan Operasional Konkret (Usia 7-11 tahun)
Tahapan Operasional Konkret merupakan tahapan ketiga dari empat tahapan
dalam teori perkembangan kognitif Piaget. Tahapan ini, yang merupakan kelanjutan dari
tahapan Preoperasional, terjadi ketika anak berusia antara 6 dan 11 tahun dan dicirikan
26
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
oleh penggunan logika yang memadai. Proses penting yang terjadi selama tahapan ini
adalah:
1) Decentering (tidak memusat)-ketika anak memperhitungkan berbagai aspek dari
suatu masalah untuk memecahkannya. Sebagai contoh, anak tidak lagi memiliki
persepsi bahwa gelas yang sangat lebar namun pendek dapat menampung cairan lebih
sedikit dibandingkan gelas yang lebarnya cukup namun lebih tinggi.
2) Reversibility (kemampuan membalik)-ketika seorang anak memahami bahwa jumlah
suatu objek dapat berubah, dan mengembalikannya pada keadaan semula. Dalam
kondisi demikian, anak dengan cepat dapat memutuskan bahwa 4+4 sama dengan 8,
8-4 sama dengan 4, jumlah sebenarnya.
3) Conservation (pembicaraan)-memahami bahwa kuantitas, panjang atau jumlah suatu
item tidak berhubungan dengan penyusunan atau kenampakan objek atau item
tersebut. Sebagai contoh, ketika pada seorang anak ditunjukkan dua wadah gelas dan
mangkuk, ia akan memahami bahwa jika air di dalam gelas dipindahkan ke dalam
mangkuk akan berubah ketinggiannya namun sama kuantitasnya dibandingkan
dengan wadah sebelumnya.
4) Serialisation (serialisasi)-kemampuan merangkai kembali objek secara berurutan
berdasarkan ukuran, bentuk, atau karakteristik lain. Sebagai contoh, jika mereka
diberi objek dengan gradiasi warna, mereka akan mengenal gradiasi warna tersebut.
5) Classification (klasifikasi)-yaitu kemampuan untuk menyebutkan nama dan
mengidentifikasi seperangkat objek menurut kenampakannya, ukuran atau
karakteristik lainnya, termasuk gagasan bahwa seperangkat objek dapat mencakup
objek lainnya. Seorang anak pada tahapan ini tidak lagi menjadi subjek pembatasan
yang tidak logis dari animisme (suatu kepercayaan bahwa semua objek adalah
binatang dan karenanya memiliki perasaan).
6) Elimination of Egocentrism (pembatasan egosentrisme)-kemampuan memandang
segala sesuatu dari perspektif orang lain (meskipun jika perpsektif itu tidak benar).
Sebagai contoh, perlihatkan seorang anak komik yang memperlihatkan Jane
meletakkan sebuah boneka di bawah kotak, meninggalkan ruangan, dan kemudian Jill
menggerakkan boneka tersebut ke laci, dan Jane kembali. Seorang anak dalam
tahapan konkret operasional akan mengatakan bahwa Jane akan tetap berpikir boneka
27
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
tersebut di bawah kotak meskipun anak tersebut tahu sesungguhnya bonekanya dalam
laci.
d. Tahapan operasional formal (Usia 11 tahun-Dewasa)
Tahapan Operasional Formal merupakan tahapan keempat dan terakhir dari
seluruh tahapan perkembangan kognitif anak dari Teori Piaget. Tahapan ini, yang
mengikuti tahapan Operasional Konkret, pada umumnya terjadi di sekitar usia 11 tahun
(pubertas) dan berlanjut ke masa kedewasaan. Karakteristik dari tahapan ini yaitu
memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak dan menarik kesimpulan dari informasi yang
berhasil diperolehnya. Selama tahapan ini seorang muda memiliki fungsi sebagaimana
orang dewasa dan nilai-nilai, "rahasia orang dewasa", dan nilai-nilai. Hal ini mudah
dimengerti, karena faktor-faktor biologis kemungkinan dapat dilacak dari tahapan ini
sebagaimana apa yang terjadi selama masa pubertas dan ditandai masuknya ke masa
dewasa dalam Physiology, kognitif, dan penilaian moral (Kohlberg), perkembangan
Psychosexual (Freud), dan perkembangan sosial (Erikson). Sekitar dua pertiga dari orang
tidak sepenuhnya sukses dalam tahapan ini, dan "terpaku" pada tahapan operasional
konkret.
e. Gambaran umum mengenai tahapan
Dari ke empat tahapan tersebut ditemukan karakteristik berikut ini:
1) Meskipun waktunya bervariasi, urutannya sama.
2) Berlaku secara universal (tidak dipengaruhi budaya tertentu)
3) Dapat digeneralisasikan: operasi yang logis dan representatif yang dialami seorang
anak seharusnya meluas ke semua konsep dan isi pengetahuan.
4) Tahapan-tahapan secara keseluruhan secara logis.
5) Hirarkhi alamiah dari urutan tahapan (setiap tahapan lanjutan merupakan elemen
kesatuan dari tahapan sebelumnya, namun lebih bervariasi dan terpadu).
6) Tahapan merepresentasikan perbedaan kualitatif dalam model berfikir, bukan hanya
perbedaan kuantitatif.
f. Kritik Bagi Teori Tahapan Perkembangan Piaget
28
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Teori Piaget tentang perkembangan ini mendapat banyak tantangan dari beberapa
aspek. Pertama, Piaget sendiri menyatakan, perkembangan tidak selalu berlangsung
dengan cara yang mulus seperti yang diprediksi dalam teorinya. 'Decalage', atau
kesenjangan yang tidak diperkirakan selama berlangsungnya perkembangan,
mengungkapkan bahwa model tahapan ini paling baik digunakan sebagai perkiraan.
Lebih jauh lagi, teori Piaget merupakan 'domain umum', memperkirkan bahwa
kematangan kognitif terjadi lintas domain yang berbeda secara bersamaan (seperti
matematika, logka, pemahaman fisika, bahasa, dsb). Namun demikian, para penganut
teori perkembangan kognitif aliran terkini sangat dipengaruhi oleh kecenderungan dari
sains kognitif menjauh dari generalisasi domain dan menuju spesifikasi domain atau
modularitas pikiran, yaitu bagian-bagian kognitif yang berbeda kemungkinan sangat
independen satu sama lain sehingga berkembang dalam waktu yang amat berbeda. Dalam
aliran pemahaman tersebut, para penganut teori perkembangan kognitif aliran terkini
memberikan alasan bahwa daripada berada pada domain umum pembelajar, mereka lebih
cenderung pada teori yang berpendapat bahwa anak-anak sudah dilengkapi dengan teori
domain spesifik, yang lebih sering disebut 'inti pengetahuan', yang memungkinkan
mereka melakukan terobosan dalam belajar dalam domain tersebut. Sebagai contoh,
bahkan anak yang masih bayi menunjukkan pemahamannya pada beberapa prinsip dasar
fisika (seperti satu objek tidak dapat menembus objek lainnya) dan keinginannya
layaknya manusia yang sudah dewasa seseorang (seperti salah satu tanganya secara
berulang-ulang menggapai-gapai suatu objek untuk mendpatkan objek tersebut, bukan
hanya gerakan tanpa arti, namun lebih sebagai tujuan). Asumsi dasar ini kemungkinan
semacam blok-blok bangunan yang menyusun pengetahuan yang telah dikonstruksi
sehingga lebih terelaborasi.
3. Teori konstruktivisme
Munculnya teori konstruktivisme secara eksplisit pada dasarnya adalah berkat
Jean Piaget, yang menegaskan perbedaan pendapatnya tentang mekanisme internalisasi
pengetahuan pada diri pembelajar. Ia berpendapat bahwa melalui proses akomodasi dan
asimilasi, individu mengkonstruksi pengetahuan baru dari pengalamannya. Asimilasi
terjadi ketika pengalaman baru dari individu cocok dengan representasi dunia nyata
29
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
dalam diri (internal) mereka. Mereka mengasimilasikan (menjadikannya sebagai bagian
dari dirinya) pengalaman baru itu dalam kerangka yang sudah ada. Asimilasi merupakan
proses membingkai kembali representasi mental seseorang dari dunia nyata supaya cocok
dengan pengalamannya yang baru. Akomodasi dapat dipahami sebagai suatu mekanisme
bagaimana mengubah suatu kegagalan menjadi keberhasilan melalui proses
pembelajaran. Ketika kita berharap bahwa dunia bekerja dengan cara sesuai keinginan
kita, dan ternyata yang terjadi adalah sebaliknya, maka kemungkinan besar kita
mengalami kegagalan. Dengan mengakomodasi pengalaman baru ini dan membingkai
ulang model yang kita kehendaki, kita memperoleh hal baru dari belajar tentang
kegagalan.
Penting untuk dicatat bahwa konstruktivisme dengan sendirinya bukan merupakan
paedagogi tunggal yang istimewa. Kenyataannya, konstruktivisme menjelaskan
bagaimana berlangsungnya pembelajaran yang ideal, tanpa memandang apakah
pembelajar memanfaatkan pengalamannya untuk memahami materi ataukah
digunakannya untuk mencoba mendesain model pesawat terbang. Pada keduanya, teori
konstruktivisme menganggap yang penting adalah pembelajar mengkonstruksi
pengetahuannya. Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali
diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by doing.
a. Intervensi Konstruktivisme dalam pembelajaran
1) Kondisi alamiah pembelajar
a). Pembelajar adalah individu yang unik
Konstruktivisme sosial memandang setiap pembelajar sebagai individu yang unik
dengan keunikan kebutuhan dan latar belakang. Pembelajar juga dipandang secara
kompleks dan multidimensional. (Gredler 1997). Konstruktivisme sosial bukan hanya
memahami keunikan dan kompleksitas pembelajar, namun juga membangkitkan,
memanfaatkan dan memberikan penghargaan pada keduanya sebagai bagian integral dari
proses pembelajaran (Wertsch 1997).
b). Pentingnya latar belakang dan budaya pembelajar
30
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Gredler (1997) juga menekankan pentingnya latar belakang dan budaya
pembelajar. Konstruktivisme sosial membangkitkan keberanian pembelajar untuk sampai
pada kebenaran versi masing-masing, yang dipengaruhi oleh latar belakangnya, budaya
atau lingkungannya. Perkembangan historis atau sistem simbol, seperti bahasa, logika,
dan sistem matematika, merupakan faktor bawaan dari pembelajar sebagai anggota dari
budaya tertentu dan hal ini dipelajari pembelajar di sepanjang hidupnya. Berbagai simbol
tersebut menuntun bagaimana pembelajar belajar dan apa yang dipelajari (Gredler 1997).
Hal ini juga menekankan pentingnya interaksi sosial pembelajar secara alami dengan
anggota masyarakat yang berpengetahuan. Tanpa interaksi sosial dengan anggota
masyarakat yang berpengetahuan, adalah mustahil untuk memperoleh arti sosial dari
sistem simbol yang penting dan belajar bagaimana memanfaatkannya. Anak-anak muda
mengembangkan kemampuan berpikirnya melalui interaksi dengan orang dewasa. Dari
sudut pandang konstruktivisme sosial, menjadi sangat penting mempertimbangkan latar
belakang dan budaya pembelajar sepanjang proses pembelajaran, karena latar belakang
semacam ini juga membantu membentuk pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan,
ditemukan, dan diperoleh selama proses pembelajaran berlangsung (Gredler 1997;
Wertsch 1997).
c). Tanggung jawab belajar
Lebih jauh lagi, ada alasan kuat bahwa tanggung jawab belajar seharusnya
berangsur-angsur diberikan kepada pembelajar. Karenanya kostruktivisme sosial
menekankan pentingnya keterlibatan aktif pembelajar dalam proses belajar, tidak seperti
pandangan dunia pendidikan sebelumnya yang meletakkan tanggung jawab belajar pada
guru untuk mengajar sehingga peran pembelajar pasif, bersifat hanya menerima. Von
Glasersfeld (1989) menekankan agar pembelajar mengkonstruksi pemahamannya sendiri
dan tidak hanya sekedar meniru dan melakukan begitu saja apa yang ia baca. Ketika tiada
informasi yang lengkap, pembelajar mencari kebermaknaan dan memiliki kemauan untuk
mencoba menemukan keteraturan dan pola kejadian-kejadian di dunia nyata.
d). Motivasi belajar
31
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Asumsi penting lain mengenai keadaan alami pembelajar berkenaan dengan
tingkatan dan sumber motivasi belajar. Menurut Von Glasersfeld (1989) motivasi yang
paling cocok untuk belajar secara kuat bergantung pada kepercayaan diri siswa yang ada
dalam potensinya untuk belajar. Perasaan akan adanya kompetensi dan kepercayaan akan
adanya potensi untuk memecahkan masalah baru, hampir seluruhnya diperoleh dari
pengalaman langsungnya (first-hand experience) dalam menuntaskan masalah di masa
lalu dan jauh lebih kuat dari pada motivasi dan pemberitahuan eksternal (Prawat dan
Floden 1994). Hal ini terkait dengan "zone of proximal development" nya Vygotsky
(Vygotsky 1978) yang berpendapat bahwa sebaiknya pembelajar diberi tantangan yang
setingkat, atau sedikit di atas perkembangannya pada saat itu. Berbekal pengalaman
sukses sepenuhnya dalam menuntaskan tugas yang menantang, pembelajar memperoleh
kepercayaan diri dan motivasi untuk menaklukkan tantangan baru yang lebih besar.
2) Peran guru
a). Guru (atau instruktur) sebagai fasilitator
Menurut pendekatan konstruktivis sosial, guru harus menyesuaikan perannya dari
sebagai instruktur ke peran sebagai fasilitator (Steffe dan Gale 1995). Ketika seorang
guru memberikan pembelajaran dalam suatu mata pelajaran, perannnya sebagai fasilitator
membantu pembelajar untuk memperoleh pemahamannya sendiri tentang materi. Selama
proses pembelajaran, dalam skenario pembelajaran tradisional pembelajar berperan pasif,
dalam pembelajaran konstruktivisme sosial pembelajaran berperan aktif. Dengan
demikian, penekanannya berubah dari instruktur dan materi ke pembelajar (Kukla 2000).
Perubahan dramatik dalam hal peran ini membawa konsekuensi pada guru untuk
memiliki seperangkat keterampilan baru dari sebelumnya sebagai suatu keharusan
(Brownstein 2001). Sebagai guru ia memberitahu, sebagai fasilitator ia bertanya; sebagai
guru ia "ing ngarso", sebagai fasilitator ia "tut wuri"; seorang guru memberikan jawaban
sesuai seperangkat kurikulum, seorang fasilitator, seorang fasilitator memberikan garis
besar haluan dan menciptakan lingkungan untuk pembelajar agar bisa menemukan
kesimpulannya sendiri; seorang guru cenderung monolog, seorang fasilitator senantiasa
dialog dengan pembelajar (Rhodes dan Bellamy 1999). Seorang fasilitator seharusnya
juga mampu mengadaptasi pengalaman belajarnya sendiri dalam rangka mengarahkan
32
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
pengalaman belajar itu menuju ke mana pembelajar ingin menciptakan sendiri nilai yang
bermakna.
Lingkungan pembelajar seharusnya juga dirancang untuk mendukung dan
memberikan tantangan pada proses berpikir pembelajar (Di Vesta, 1987). Meskipun
disarankan agar memberikan kepada pembelajar akses untuk menemukan masalahnya
sendiri dan proses pemecahannya, seringkali kegiatan ataupun solusinya tidak memadai.
Pada akhirnya, tujuan utamanya adalah memberikan pembelajar dukungan untuk menjadi
pemikir efektif. Hal ini bisa dilakukan dengan memainkan peran ganda, yaitu konsultan
dan pelatih.
3) Kondisi alamiah proses pembelajaran
a). Belajar merupakan proses sosial yang aktif
Para pakar konstruktivisme sosial memiliki pandangan belajar sebagai proses
aktif di mana pembelajar seharusnya belajar untuk menemukan sendiri prinsip, konsep,
dan fakta sehingga sebaiknya diberikan teka-teki yang menantang dan cara berpikir
intuitif dari pembelajar (Brown et al.1989; Ackerman 1996; Gredler 1997).
Kenyataannya -bagi konstruktivis sosial- prinsip, konsep dan fakta bukanlah sesuatu yang
kita bisa temukan begitu saja karena sebelumnya tidak ada dan bukan menjadi prioritas
utama bagi masyarakat kita untuk menemukannya. Kukla (2000) berpandangan bahwa
prinsip.konsep dan fakta direkonstruksi oleh aktivitas sendiri dan bahwa manusia, yang
secara bersama-sama menjadi anggota masyarakat menemukannya untuk menjadi
properti dunia nyata mereka.
Pakar konstruktivis lain setuju dengan pendapat di atas namun lebih menekankan
bahwa individual memberikan makna melalui interaksinya dengan orang lain dan dalam
lingkungan tempat ia hidup. Dengan demikian pengetahuan merupakan produk dari
manusia yang dikonstruksi secara sosial dan kultural (Ernest 1991; Gredler 1997; Prawat
dan Floden 1994). McMahon (1997) setuju bahwa belajar merupakan proses sosial. Ia
menambahkan bahwa belajar bukanlah proses yang hanya terjadi di dalam pikiran kita,
juga bukan perkembangan pasif dari perilaku kita yang dibentuk oleh kekuatan dari luar
diri kita; proses belajar yang berarti terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial.
33
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Vygotsky (1978) juga mennyoroti perpaduan dari elemen sosial dan praktikal
dalam pembelajaran dengan mengatakan bahwa peristiwa penting dalam proses
perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara dan aktivitas praktikal, dua jalur
perkembangan yang benar-benar independen satu sama lain, menyatu.
Melalui kegiatan praktikal seorang anak mengkonstruksi arti pada tingkatan
intrapersonal, sedangkan berbicara menghubungkan arti tersebut dengan dunia
interpersonal sebagai wahana ia berbagi dengan budayanya.
b). Interaksi dinamis antara tugas, guru, dan pembelajar
Karakteristik yang lebih jauh dari peran guru sebagai fasilitator dalam sudut
pandang konstruktivisme sosial, adalah bahwa guru dan pembelajar memiliki intensitas
keterlibatan yang sama (Holt dan Willard-Holt 2000). Hal ini berarti bahwa pengalaman
belajar di samping objektif juga subjektif dan membutuhkan kondisi di mana budaya,
nilai, dan latar belakang guru menjadi bagian esensial sebagai penghubung antara
pembelajar dan tugasnya dalam mengkonstruksi makna. Pembelajar membandingkan
kebenaran versinya dengan versi guru dan temannya dalam rangka untuk mendapatkan
kebenaran versi masyarakat yang telah teruji (Kukla 2000). Tugas atau masalahnya
adalah adanya interface (batas) antara guru dan pembelajar (McMahon 1997). Hal ini
akan memunculkan interaksi dinamis antara tugas, guru dan pembelajar. Hal ini
membawa konsekuensi pembelajar dan guru seharusnya mengembangkan suatu
kepedulian terhadap sudut pandang orang lain dan kemudian melihat kembali
kepercayaan, standar dan nilai-nilainya, dengan demikian berperilaku subjektif sekaligus
objektif secara simultan (Savery 1994).
Green dan Gredler (2002) menekankan belajar sebagai suatu proses interaktif,
meliputi proses yang diskursif (rasional), adaptif, interaktif dan reflektif secara
berkualitas. Menurut keduanya fokus utama dari belajar adalah hubungan timbal balik
antara guru-siswa. Beberapa penelitian yang lain, juga memberikan alasan pentingnya
mentoring (belajar dengan mentor, senior yang berpengalaman) di dalam proses belajar
(Archee dan Duin 1995; Brown et al. 1989). Model pembelajaran konstruktivisme sosial
dengan demikian menekankan pentingnya hubungan timbal balik antara siswa dengan
guru selama proses pembelajaran berlangsung.
34
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Beberapa pendekatan belajar yang sesuai untuk belajar interaktif antara lain
pembelajaran reciprocal, kolaborasi kelompok, cognitive apprenticeships, problembased
instruction, web quests, anchored instruction dan pendekatan lain yang melibatkan
belajar dengan orang lain.
4) Kolaborasi di antara pembelajar
Pembelajar dengan kemampuan dan latar belakang seharusnya berkolaborasi
dalam tugas dan diskusi dalam rangka menuju pemahaman bersama tentang kebenaran
suatu bidang tertentu.
Kebanyakan model konstruktivisme, seperti yang dikemukakan oleh Duffy dan
Jonassen (1992), juga menekankan kebutuhan akan kolaborasi antara pembelajar, hal ini
jelas berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih mengedepankan sifat kompetitif.
Salah seorang penganut Vygotski memberikan catatan bahwa begitu berartinya implikasi
dari peer collaboration, sebagai bagian dari the zone of proximal development. Di sini,
zone perkembangan proksimal (terdekat) didefinisikan sebagai jarak antara tingkat
perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah secara
independen dan tingkatan perkembangan potensial seperti yang ditentukan oleh
pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau kolaborasi dengan peer lain
yang sudah berpengalaman; batasan ini berbeda dengan keadaan biologis alamiah yang
fix dari tingkatan perkembangannya Piaget. Melalui suatu proses yang disebut
'scaffolding' (dukungan) seorang pembelajar dapat dapat dipacu mencapai tingkatan di
atas keterbatasan kematangan fisik sehingga tidak terjadi proses perkembangan tertinggal
di belakang proses pembelajaran (Vygotsky 1978).
a). Pentingnya konteks
Paradigma konstruktivisme sosial memandang konteks dari terjadinya
pembelajaran sebagai pusat dari pembelajaran itu sendiri (McMahon 1997).
Yang perlu digarisbawahi dari suatu catatan penting bahwa pembelajar
merupakan prosesor aktif adalah "asumsi bahwa tidak ada satu pun bagian dari
seperangkat hukum pembelajaran yang telah digeneralisasi yang dapat diterapkan untuk
semua domain " (Di Vesta 1987:208). Pengetahuan yang tidak dikontekstualkan tidak
35
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
mampu memberikan kita keterampilan untuk menerapkan pengetahuan kita dalam tugastugas
yang autentik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Duffy dan Jonassen (1992),
kita tidak bekerja dengan konsep dalam lingkungan yang kompleks melainkan
pengalaman dari hubungan timbal balik yang kompleks dari lingkungan yang juga
kompleks yang menentukan bagaimana dan kapan suatu konsep digunakan. Salah
seorang konstruktivis memberikan catatan bahwa pembelajaran yang autentik atau sesuai
situasi adalah pembelajaran di mana siswa mengambil bagian dalam kegiatan yang secara
langsung relevan dengan penerapan hasil pembelajaran dan yang terjadi dalam budaya
yang sama dengan setting penerapannya (Brown et al. 1989). Cognitive apprenticeship
(pelatihan kognitif) dianggap sebagai model konstruktivisme yang efektif dalam
pembelajaran di mana model ini mencoba "enkulturasi (pembudayaan) siswa dalam
kegiatan praktis yang autentik melalui kegiatan dan interaksi sosial dalam cara yang
sama dengan pelatihan di bidang keterampilan yang telah terbukti sukses " (Ackerman
1996:25).
Konteks di mana pembelajaran terjadi maupun konteks sosial di mana pembelajar
membawanya ke lingkungan belajar dengan sendirinya menjadi faktor penentu dalam
pembelajaran itu sendiri (Gredler 1997).
b). Asesmen (penilaian)
Holt dan Willard-Holt (2000) menekankan konsep asesmen dinamis, suatu cara
mengases potensi sebenarnya dari pembelajar yang secara signifikan berbeda dengan tes
konvensional. Kondisi belajar alamiah yang esensial diperluas sampai ke proses asesmen.
Bila biasanya asesmen sebagai suatu proses dilakukan oleh seseorang, misalnya guru, di
sini dipandang sebagai suatu proses dua arah yang melibatkan interaksi antara guru dan
pembelajar. Peranan guru sebagai asesor melakukan dialog dengan siswa yang diases
untuk menemukan tingkatan performansnya dalam melakukan tugas pada saat itu dan
curah pendapat dengannya tentang cara yang mungkin bisa ditempuh dalam memperbaiki
performansnya pada kesempatan berikutnya. Dengan demikian, asesmen dan
pembelajaran dipandang sebagai jalinan proses yang tak terpisahkan (Holt dan Willard-
Holt 2000).
36
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Berdasarkan pandangan ini seorang guru seharusnya memandang asesmen
sebagai proses yang terus menerus dalam mengukur pencapaian pembelajar, kualitas
pengalamannya dalam pembelajaran dan proses pembelajarannya. Asesmen juga
merupakan bagian integral dari pengalaman belajar dan bukan proses yang berdiri sendiri
(Gredler 1997). Umpan balik dari proses asesmen berfungsi sebagai masukan langsung
yang menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya. Asesmen seharusnya tidak menjadi
proses intimidasi yang menyebabkan kecemasan siswa, melainkan proses yang bersifat
mendukung yang membangkitkan keberanian siswa untuk ingin dievaluasi di masa
mendatang, sehingga harus fokus pada perkembangan yang terjadi pada siswa (Green dan
Gredler 2002).
5) Pemilihan, cakupan, dan tata urutan materi
a). Pengetahuan seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan terpadu
Pengetahuan seharusnya tidak dipisahkan ke dalam subjek-subjek yang berbeda
(kompartementalisasi), tetapi seharusnya ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu.
Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya konteks bagaimana pembelajaran
dilangsungkan. Menurut para tokoh tersebut, pengetahuan seharusnya tidak
dikompartementalisasi secara kaku ke dalam subjek atau kategori berbeda namun
seharusnya disajikan dan ditemukan sebagai keseluruhan yang terpadu. Alasannya adalah
bahwa dunia, tempat yang dibutuhkan oleh pembelajar untuk melakukan kegiatan, tidak
bisa didekati dengan bentuk subjek terpisah, melainkan berupa suatu kompleksitas tak
terhingga dari fakta, problem, dimensi dan persepsi.
b). Keasyikan dan tantangan bagi pembelajar
Pembelajar seharusnya secara konstan diberi tantangan dengan tugas-tugas yang
berhubungan dengan keterampilan dan pengetahuan sedikit di atas tingkat ketuntasannya
pada saat itu. Hal ini akan menimbulkan motivasi dan membangun lagi keberhasilan
sebagaimana yang telah diraih sebelumnya dalam rangka mempertahankan kepercayaan
diri pembelajar. Hal ini juga sejalan dengan zone of proximal development- nya
Vygotsky yang dapat dideskripsikan sebagai jarak antara perkembangan tingkat
perkembangan aktual (yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara independen)
37
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
dan tingkatan perkembangan potensial (yang ditentukan melalui pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kolaborasi dengan peers yang lebih
berpengalaman).
Vygotsky lebih jauh mempublikasikan secara luas bahwa suatu pembelajaran
dianggap baik ketika pembelajaran tersebut melampaui perkembangan. Kemudian
pembelajaran tersebut membangunkan dan membangkitkan keseluruhan perangkat fungsi
yang berada di tingkat kematangan untuk hidup di kehidupan nyata, yang terletak di zona
perkembangan proksimal. Dengan cara inilah pembelajaran memainkan peranan yang
maha penting dalam perlembangan.
Dalam rangka untuk sepenuhnya memberikan keasyikan dan tantangan bagi
pembelajar, tugas dan lingkungan pembelajaran seharusnya merefleksikan kompleksitas
lingkungan sehingga pembelajar seharusnya memiliki fungsi di akhir pembelajaran.
Pembelajar seharusnya tidak hanya mendapatkan proses pembelajaran ataupun proses
pemecahan masalah, namun juga masalah itu sendiri.
Ketika mempertimbangakan tata urutan materi, sudut pandang konstruktivis
berpendirian bahwa dasar dari berbagai subjek dapat dibelajarkan pada siapa pun pada
tingkatan mana pun dalam banyak bentuk. Hal ini berarti bahwa guru seharusnya pertama
sekali memperkenalkan gagasan dasar sehingga menghidupkan dan membentuk banyak
topik ataupun area subjek, baru kemudian kembali lagi pada subjek semula dan
membangun kembali gagasan tersebut. Prinsip seperti ini secara ekstensif digunakan
dalam kurikulum.
Juga penting bagi guru untuk relistis, karena meskipun suatu kurikulum
kemungkinan dirancang untuk mereka, tak terhidarkan lagi untuk dibentuk ulang oleh
mereka menjadi lebih personal yang merefleksikan sistem kepercayaan mereka sendiri,
pemikiran dan perasaan mereka terhadap isi pembelajaran maupun pembelajarnya.
Dengan demikian, pengalaman belajar menjadi suatu kegiatan yang harus dilakukan
bersama. Dengan demikian, emosi dan konteks kehidupan dari yang terlibat dalam
kegiatan pembelajaran harus dianggap sebagai bagian integral dari pembelajaran. Tujuan
dari pembelajar menjadi fokus dalam mempertimbangkan tentang apa yang dipelajari.
c). Penstrukturan proses belajar
38
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Adalah penting untuk mendapatkan keseimbangan yang benar antara tingkatan
struktur dan fleksibilitas yang dibangun dalam proses pembelajaran. Savery menyatakan
bahwa semakin lebih terstruktur lingkungan pembelajaran, semakin sulit bagi pembelajar
dalam mengkonstruksi arti berdasarkan pemahaman konseptual mereka sendiri. Seorang
guru seharusnya menyusun struktur pengalaman belajar sekedar cukup untuk membuat
yakin bahwa siswa mendapat arahan yang jelas dan parameter untuk mencapai tujuan
pembelajaran, namun pengalaman belajar seharusnya terbuka dan memberikan peluang
yang cukup bagi pembelajar untuk menemukan, menikmati, berinteraksi dan sampai pada
kebenarannya sendiri yang telah diverifikasi oleh masyarakat.
d). Catatan akhir
Intervensi konstruktivisme dalam pembelajaran dengan demikian merupakan
intervensi di mana kegiatan kontekstual (tugas-tugas) digunakan untuk menyediakan
pembelajar peluang untuk menemukan dan secara kolabortif mengkonstruksi arti
sebagaimana yang diungkap dalam intervensi. Pembelajar dihormati sebagai individual
yang unik, dan guru lebih cenderung berperan sebagai fasilitator daripada instruktur.
4. Paedagogi berdasarkan konstruktivisme
Kenyataannya, banyak pedagogi yang bergerak di sekitar teori konstruktivisme.
Kebanyakan pendekatan yang berkembang dari konstruktivisme menyarankan bahwa
belajar yang sempurna menggunakan pendekatan hands-on (keterlibatan personal).
Pembelajar belajar melalui eksperimentasi, dan tidak melalui cara pemberitahuan apa
yang akan terjadi. Mereka dibiarkan memiliki pendapat sendiri, penemuan, dan
kesimpulan. Konstruktivisme juga menekankan bahwa pembelajaran bukanlah suatu
proses "seluruhnya atau tidak sama sekali" melainkan bahwa siswa belajar informasi baru
yang disajikan untuk mereka dengan membangun pengetahuan yang telah mereka miliki.
Karenanya menjadi penting guru secara konstan mengases pengetahuan yang telah
dicapai siswanya untuk meyakinkan bahwa persepsi siswa terhadap pengetahuan baru
sama dengan apa yang dimaksudkan guru. Guru akan menemukan bahwa karena siswa
membangun pengetahuan yang telah dimiliki, ketika diminta untuk memahami informasi
baru, mereka tidak membuat kesalahan. Bisa disebut terjadi kesalahan rekonstruksi
39
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
apabila kita mengisi kesenjangan antara pemahaman kita dengan pemikiran yang logis
namun tidak benar. Guru harus mampu mengidentifikasi dan mencoba membetulkan
kesalahan tersebut, meskipun tak pelak lagi bahwa beberapa kesalahan rekonstruksi akan
terus terjadi karena faktor bawaan berupa keterbatasan pemahan kita.
Pada kebanyakan pedagogi yang berdasarkan konstruktivisme, peran guru bukan
hanya mengamati dan mengases namun juga terlibat dalam kegiatan siswa sementara ia
juga harus menyelesaikan kegiatannya sendiri, meneriakkan keheranan dan mengajukan
pertanyaan kepada siswa untuk menggalakkan cara berpikir logis. (contoh: Saya heran
mengapa air tidak meluap keluar melalui bibir gelas yang penuh?) Guru juga melakukan
intervensi ketika muncul konflik; namun mereka secara sederhana memfasilitasi resolusi
di antara siswa dan regulasi diri, dengan suatu penekanan pada siswa untuk harus
mampu menemukan jalan keluarnya sendiri. Sebagai contoh, promosi literasi dapat
dilakukan dengan mengintegrasikan kebutuhan untuk membaca dan menulis selama
aktivitas individual dalam kelas yang penuh tulisan kreatif. Seorang guru, setelah
membaca suatu cerita, membangkitkan keberanian siswa untuk menulis dan menulis
ceritanya sendiri, atau meminta siswa untuk melakonkan ulang suatu cerita yang telah
mereka kenal dengan baik, kedua kegiatan tersebut membangkitkan keberanian siswa
untuk membayangkan diri mereka sendiri sebagai pembaca ataupun penulis.
Beberapa pendekatan khusus dalam dunia pendidikan yang didasarkan atas
konstruktivisme:
Konstruktionisme: Merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
dikembangkan oleh Seymour Papert dan koleganya di MIT di Cambridge, Massachusetts.
Papert pernah bekerjasama dengan Piaget institut tersebut di Jenewa. Papert belakangan
menyebut pendekatannya "constructionism." Pendekatan ini menckup segala sesuatu
yang berhubungan dengan konstruktivismenya Piage, namun bergerak lebih jauh lagi
dengan menyertakan bahwa pembelajaran konstruktivisme terjadi dengan baik khususnya
ketika siswa mengkonstruksi suatu produk, sesuatu yang eksternal bagi mereka seperti
benteng pasir, mesin, program komputer, atau buku. Promotor penggunaan komputer
dalam pendidikan memandang suatu kebutuhan yang semakin meningkat
untukmengembangkan keterampilan dalam literasi Multimedia dalam rangka
mengguanakan peralatan ini dalam pembelajaran konstruktivisme.
40
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
Pendekatan lainnya: Reciprocal Learning, Procedural Facilitations for Writing,
Cognitive Tutors, Cognitively Guided Instruction (suatu program pengembangan profesi
dan riset dalam matematika untuk SD yang diciptakan oleh Thomas P. Carpenter,
Elizabeth Fennema, dan koleganya di University of Wisconsin-Madison. Premis
mayornya adalah guru dapat menggunakan strategi informal siswa (dengan kata lain
strategi yang dikontruksi oleh siswa berdasarkan pemahamannya pada situasi
kehiduopan sehari-hari, seperti memungut batu kecil dan memetik bunga) sebagai basis
utama untuk mengajar matematika di jenjang SD); Anchored Instruction (Bransford et
al), Problem dan pendekatan pemecahan solusinya ditanamkan dalam lingkungan
naratif), Cognitive Apprenticeship (Collins et al), pembelajaran diperoleh melalui
pengintegrasian ke dalam budaya pengetahuan khusus yang implisit dan eksplisit);
Cognitive Flexibility (Sprio et al) dan Pragmatic Constructivism.
F. TEORI BELAJAR SOSIAL
Dalam dasawarsa terakhir, penganut teori konstruktivisme memperluas fokus
tradisionalnya pada pembelajaran individual ke dimensi pembelajaran kolaboratif dan
sosial.. Konstruktivisme sosial bisa dipandang sebagai perpaduan antara aspek-aspek dari
karya Piaget dengan karya Bruner dan karya Vygotsky. Istilah Konstruktivisme komunal
dikenalkan oleh Bryn Holmes di tahun 2001. Dalam model ini, "siswa tidak hanya
mengikuti pembelajaran seperti halnya air mengalir melalui saringan namun membiarkan
mereka membentuk dirinya." Dalam perkembangannya muncullah istilah Teori Belajar
Sosial dari para pakar pendidikan.
Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa manusia belajar melalui
pengamatannya terhadap perilaku orang lain. Pakar yang paling banyak melakukan riset
teori belajar sosial adalah Albert Bandura dan Bernard Weiner.
Meskipun classical dan operant conditioning dalam hal-hal tertentu masih
merupakan tipe penting dari belajar, namun orang belajar tentang sebagian besar apa
yang ia ketahui melalui observasi (pengamatan). Belajar melalui pengamatan berbeda
dari classical dan operant conditioning karena tidak membutuhkan pengalaman personal
langsung dengan stimuli, penguatan kembali, maupun hukuman. Belajar melalui
41
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan perilaku orang lain, yang disebut
model, dan kemudian meniru perilaku model tersebut.
Baik anak-anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan
imitasi (peniruan) ini. Anak muda belajar bahasa, keterampilan sosial, kebiasaan,
ketakutan, dan banyak perilaku lain dengan mengamati orang tuanya atau anak yang
lebih dewasa. Banyak orang belajar akademik, atletik, dan keterampilan musik dengan
mengamati dan kemudian menirukan gueunya. Menurut psikolog Amerika Serikat
kelahiran Kanada Albert Bandura, pelopor dalam studi tentang belajar melalui
pengamatan, tipe belajar ini memainkan peran yang penting dalam perkembangan
kepribadian anak. Bandura menemukan bukti bahwa belajar sifat-sifat seperti
keindustrian, keramahan, pengendalian diri, keagresivan, dan ketidak sabaran sebagian
dari meniru orang tua, anggota keluarga lain, dan teman-temannya.
Psikolog pada suatu saat pernah berpikir bahwa hanya manusia yang dapat belajar
melalui pengamatan. Mereka sekarang memahami bahwa banyak jenis binatang—
termasuk burung, kucing, anjing, binatang pengerat, dan primata—dapat belajar melalui
pengamatan terhadap anggota lain dari spesies yang sama. Binatang yang kecil dapat
belajar tentang sesuatu yang bisa dimakan, ketakutan, dan keterampilan untuk bertahan
hidup melalui pengamatannya terhadap induknya atau bapaknya. Hewan yang sudah
dewasa dapat belajar perilaku baru atau solusi dari masalah sederhana melalui
pengamatannya terhadap hewan lain
1. Eksperimen Bandura
Di awal tahun 1960-an Bandura dan peneliti lain melakukan seperangkat
eksperimen klasik yang mendemonstrasikan kekuatan dari belajar melalui pengamatan.
Dalam salah satu percobaannya, seorang anak prasekolah sedang mengerjakan tugas
melukis sementara di depannya sebuah pesawat televisi menayangkan film tentang
seorang dewasa dengan agresif sedang mendekati boneka bobo (boneka berupa badut
yang dapat tegak setelah dipukul roboh). Orang tersebut memukuli bobo bertubi-tubi
dengan semacam palu, menendangnya, melemparkannya ke udara, mendudukinya,
menggigitnya di bagian wajahnya, sambil meneriakkan kata-kata seperti 'tonjok
hidungnya … ayo tendang … des!' Anak tersebut kemudian beranjak ke ruangan lain
42
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
yang penuh boneka termasuk bobo. Eksperimenter mengamati anak tersebut melalui kaca
satu arah. Dibandingkan anak-anak yang menyaksikan model orang dewasa yang tidak
agresif dan yang sama sekali tidak melihat tayangan, anak-anak yang melihat tayangan
perilaku agresif tersebut menunjukkan perilaku yang jauh lebih agresif terhadap boneka
bobo, dan mereka seringkali menirukan secara persis perilaku model dan kata-kata
permusuhannya.
Di dalam varian eksperimen orisinilnya, Bandura dan koleganya meneliti
penerapan efek lanjutan dari pengamatan pada kegiatan belajar. Mereka memperlihatkan
pada anak-anak berusia empat tahun secara terpisah masing-masing satu dari tiga film
tentang perilaku ‘kejam’ seorang dewasa terhadap boneka bobo tersebut. Dalam salah
satu versi film, orang dewasa tersebut diberi penghargaan karena perilaku yang agresif
berupa minuman dan permen. Di versi lain, orang dewasa tersebut balik dipukul, dijitak,
dan diperingatkan agar tidak melakukan hal itu lagi. Di versi ketiga, orang dewasa
tersebut tidak diberi hadiah maupun hukuman. Setelah menyaksikan film, setiap anak
ditinggalkan sendirian di dalam ruangan yang berisi boneka bobo dan mainan lain.
Banyak anak meniru perilaku kejam dari orang dewasa tersebut, namun anak-anak yang
menyaksikan orang dewasa modelnya dihukum setelah menyiksa bobo lebih jarang yang
menirukan. Namun, ketika peneliti menjanjikan hadiah kepada semua anak untuk
menirukan, ketiga kelompok memperlihatkan kuantitas perilaku yang sama terhadap
boneka bobo.
Bandura menyimpulkan bahwa meskipun anak-anak tidak melihat orang dewasa
di dalam tayangan tidak mendapat hadiah telah belajar melalui pengamatan, namun anakanak
ini (khususnya yang melihat modelnya dihukum) tidak melakukan apa yang mereka
pelajari sampai mereka bisa berharap mendapatkan hadiah bila melakukannya. Istilah
belajar latent (latent learning) digunakan dalam kasus di mana individu belajar perilaku
yang baru namun tidak melakukan perilaku tersebut sampai ia melihat kemungkinan
untuk mendapatkan hadiah.
2. Teori Imitasi Bandura
Menurut teori imitasi Bandura yang sangat berpengaruh, yang juga disebut teori
belajar sosial, empat faktor dibutuhkan oleh seseorang untuk belajar melalui pengamatan
43
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
dan kemudian menirunya: attention (memperhatikan), retention (mengingat),
reproduction (mereproduksi), dan motivation (dorongan). Pertama, pembelajar harus
menaruh perhatian pada detail-detail yang penting dari perilaku model. Seorang wanita
muda, melihat ayahnya memanggang roti tidak akan berhasil menirukan perilaku
ayahnya tersebut bila tidak menaruh perhatian pada beberapa detail penting—bumbu,
kuantitas, temperatur oven, durasi waktu memanggang, dan sebagainya. Faktor kedua
adalah retention—pembelajar harus dapat mengingat atau menyimpan semua informasi
dalam memorinya sampai informasi itu berguna kelak. Jika seseorang lupa beberapa
detail penting, ia akan tidak dapat berhasil meniru suatu perilaku. Ketiga, pembelajar
harus memiliki keterampilan dan koordinasi fisik yang dibutuhkan dalam reproduction
mereproduksi perilaku tersebut. Wanita muda tersebut harus memiliki kekuatan dan
kecekatan untuk mencampur bumbu, menuangkan mentega, dan sebagainya, dalam
rangka memanggang roti sendiri. Akhirnya, pembelajar harus memiliki motivasi
(dorongan) untuk menirukan model. Dalam hal ini, pembelajar memiliki kecenderungan
untuk menirukan suatu perilaku jika mereka mengharapkan perilaku tersebut mengarah
pada suatu tipe hadiah atau penguatan. Jika pembelajar memandang bahwa menirukan
perilaku tidak akan mengarah pada hadiah atau justru mengarah ke hukuman, mereka
cenderung tidak menirukan perilaku tersebut.
3. Teori Generalisasi Imitasi
Suatu alternatif dari teori Bandura adalah teori generalisasi imitasi. Teori ini
menyatakan bahwa orang akan meniru perilaku orang lain jika situasinya sama dengan
ketika peristiwa yang ditirunya diperkuat di masa lalu. Sebagai contoh, ketika seorang
anak muda meniru perilaku orang tuanya atau saudara tuanya, imitasi ini sering diperkuat
dengan senyuman, pujian, atau bentuk-bentuk persetujuan lain. Demikian juga, ketika
anak-anak menirukan perilaku teman-temannya, bintang olah raga, atau selebritis,
peniruan ini akan diperkuat—dengan persetujuan teman sebayanya, jika tidak orang
tuanya. Melalui proses generalisasi, anak tersebut akan memulai meniru model-model
tersebut pada kesempatan yang lain. Bila teori Bandura menekankan proses berpikir dan
44
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
motivasi peniru, teori generalisasi imitasi berpijak pada dua prinsip dasar dari operant
conditioning—penguatan dan generalisasi.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi imitasi
Banyak faktor yang mempengaruhi apakah seseorang akan meniru suatu model
atau tidak. Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, anak-anak lebih cenderung meniru
model apabila perilaku model telah mendapatkan penguatan dibandingkan dengan
hukuman. Namun yang lebih penting adalah konsekuensi yang diharapkan dari
pembelajar. Seseorang akan meniru perilaku yang mendapat hukuman apabila ia berpikir
bahwa imitasi tersebut akan akan menghasilkan beberapa tipe penguatan yang lain.
Karakteristik model juga mempengaruhi karakteristik imitasi. Beberapa studi
menunjukkan bahwa anak-anak lebih cenderung meniru orang dewasa yang lebih mampu
membuat ia senang dan lebih menarik perhatiannya dibandingkan dengan orang lain.
Juga, anak-anak lebih sering meniru orang dewasa yang memiliki pengaruh penting
dalam hidupnya seperti orangtuanya atau gurunya, dan orang-orang yang sukses atau
dikaguminya seperti atlet atau selebriti. Baik orang dewasa maupun anak-anak lebih
cenderung meniru model yang memiliki kemiripan usia, jenis kelamin, dan latar
belakang. Karena alasan inilah, ketika terapis perilaku menggunakan model untuk
mengajar perilaku atau keterampilan baru, mereka mencoba menggunakan model yang
sama dengan pembelajar.
G. DAMPAK TEORI BELAJAR PADA PENDIDIKAN
1. Behaviorisme
This theory is relatively simple to understand because it relies only on observable
behavior and describes several universal laws of behavior. Its positive and negative
reinforcement techniques can be very effective--both in animals, and in treatments for
human disorders such as autism and antisocial behavior. Behaviorism often is used by
teachers, who reward or punish student behaviors.
2. Kognitivisme
When educators take neuroscience into account, they organize a curriculum around real
experiences and integrated, "whole" ideas. Plus, they focus on instruction that promotes
45
Fajar S / mahasiswa pgsd uns
complex thinking and the "growth" of the brain. Neuroscience proponents advocate
continued learning and intellectual development throughout adulthood.
3. Humanisme
4. Konstruktivisme
Curriculum--Constructivism calls for the elimination of a standardized curriculum.
Instead, it promotes using curricula customized to the students' prior knowledge. Also, it
emphasizes hands-on problem solving.
Instruction--Under the theory of constructivism, educators focus on making connections
between facts and fostering new understanding in students. Instructors tailor their
teaching strategies to student responses and encourage students to analyze, interpret, and
predict information. Teachers also rely heavily on open-ended questions and promote
extensive dialogue among students.
Assessment--Constructivism calls for the elimination of grades and standardized testing.
Instead, assessment becomes part of the learning process so that students play a larger
role in judging their own progress.
5. Sosial
Curriculum-- Students must get a chance to observe and model the behavior that leads to
a positive reinforcement.
Instruction-- Educators must encourage collaborative learning, since much of learning
happens within important social and environmental contexts.
Assessment--A learned behavior often cannot be performed unless there is the right
environment for it. Educators must provide the incentive and the supportive environment
for the behavior to happen. Otherwise, assessment may not be accurate.
46
Teori Belajar/SW Widodo
DAFTAR PUSTAKA
Kassin, Saul. 2006. Psychology. Encarta 2007. (DVD-ROM: Microsoft® Student 2007.
Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006).
Mazur, James E. 2006. Learning. Encarta 2007. (DVD-ROM: Microsoft® Student 2007.
Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2006).
Wikipedia. 2007. Cognitivism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Cognitivism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2007. Constructivism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Constructivism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2007. Learning Theories. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/Learning_
Theories.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Behaviorism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Behaviorism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Jerome Bruner. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Jerome
Bruner.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Albert Bandura. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Albert
Bandura.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. B F Skinner. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
B_F_Skinner.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Edward Thorndike. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Edward
Thorndike.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Jean Piaget. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Jean Piaget.html.
diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Lev Vygotsky. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Lev
Vygotsky.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Noam Chomsky. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/ Noam
Chomsky.html. diakses 6 Februari 2007).
47
Teori Belajar/SW Widodo
Wikipedia. 2006. Robert M Gagné. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Robert_M_Gagné.html. diakses 6 Februari 2007).
Wikipedia. 2006. Behaviorism. (Online). (http: //en.wikipedia.org/wiki/
Behaviorism_(psychology).html. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Learning Theories. (Online).
(http: //www.funderstanding.com/learning_theories.cfm. diakses 6 Februari
2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
Metropolitan Community College Omaha Nebraska. 1998. Piaget. (Online).(http:
//www.funderstanding.com/piaget.cfm. diakses 6 Februari 2007).
http: //en.wikipedia.org/wiki/Cognitivism_(psychology) 060207
http: //en.wikipedia.org/wiki/Scientific_method
http: //web.syr.edu/~walker/SOCIALLEARNINGTHEORIES.htm 060207
http: //web.syr.edu/~walker/BEHAVIORISTTHEORIES.htm 060207
http: //en.wikipedia.org/wiki/Zone_of_proximal_development
http: //web.syr.edu/~walker/CONSTRUCTIVISTTHEORY.htm
http: //web.syr.edu/~walker/INTRODUCTION.htm
http: //web.syr.edu/~walker/REFLECTION.htm
http: //edweb.sdsu.edu/courses/edtec540/Perspectives/Perspectives.html
http: //edweb.sdsu.edu/courses/edtec540/Perspectives/instruction.html
http: //www.wsu.edu/~dee/REN/HUMANISM.HTM
http: //education.indiana.edu/~socialst/
48